Suaramuslim.net – Masa kejayaan petani karet bisa dikatakan di tahun 2011, bagaimana tidak kondisi dimana harga karet berada di puncak tertinggi. Perkebunan karet mendadak diminita petani, Lahan petani yang tadinya kosong di sulap petani menjadi lahan perkebunan karet.
Komoditi sebelumnya bukan tanaman karet mendadak diganti petani dengan tanaman karet. Petani yang tadinya hanya menjadikan sumber pendapatan sampingan menjadikan sumber pendapatan utama. Ini karena petani menaruh harapan yang sangat besar pada komoditi yang satu ini.
Namun, Perubahan harga karet yang cepat dan signifikan menjadikan petani hanya bisa gigit jari, dimana petani yang tadinya merasakan angin segar dan berharap banyak pada komoditi ini mendadak kecewa dan frustasi. Bagaimana tidak yang tadinya harga mencapai Rp. 24.000 – Rp. 30.000 per kilogram saat ini hanya Rp. 9.000 – 11.000 perkilogram atau turun hampir sepertiganya untuk karet jenis bulanan.
Banyak pendapat yang menyatakan kondisi ini akibat adanya gejolak harga dunia dan permintaan karet dunia, Adanya pergeseran atau perubahan konsumen terhadap karet alam dengan karet sintetik dan rendahnya harga karet sintetik dibandingkan dengan harga karet alam, rantai pasar yang panjang, dan iklim investasi pada sektor pengolahan yang belum memadai dan terakhir isu yang sudah lama yaitu tentang rendahnya harga karet dipengaruhi oleh produksi karet Indonesia yang kalah kualitasnya bersaing dengan Negara-negara produksi karet alam lainnya seperti Thailand, Malaysi dan Vietnam.
Melihat dari aspek kualitas, alasan tersebut dapat dibenarkan karena komposisi perkebunan karet Indoesia merupakan perkebunan karet dengan karakteristik hampir 85 persen dari total perkebunan karet yang dimiliki di Indonesia merupakan perkebunan karet rakyat.
Hal ini juga akan beriringan dengan kualitas produksi yang dihasilkan petani, artinya banyaknya petani atau yang membudidayakan karet akan menjadikan standar karet yang di produksi petani juga berbeda-beda. Hal ini lah yang seharusnya di selesaikan, ketika memang masalahnya terletak pada standar kualitas produksi karet yang dihasilkan petani kita.
Tingkat harga sesungguhnya akan berbengaruh pada motivasi dan kinerja petani dalam melakukan budidaya usaha perkebunan karet. Melihat harga 5 tahun terakhir timbul keresahan pada petani, penulis ingat betul ketika harga karet mencapai harga 4.5 USD per kilogram untuk karet SIR 20 menjadikan petani sangat termotivasi dan berlomba-lomba dalam membudiyakan karet.
Tingkat daya beli petani sangat tinggi hal ini dibuktikan pada saat itu setiap kepala keluarga berlomba-lomba untuk membeli peralatan elektronik, kendaraaan bermotor dan pasar-pasar relatif ramai oleh pembeli dan daya beli pada saat itu dirasakan sangat tinggi. Namun kondisi itu sangat berbalik dari kondisi sekarang.
Petani banyak yang mengeluh dengan harga yang tak kunjung meningkat malah cenderung menurun. Bagaimana tidak petani membandingkan harga karet dengan harga bahan pokok yaitu beras.
Saat ini harga beras yang mencapai Rp. 10.000 per kilogram tidak sebanding dengan harga lump atau karet jenis mingguan yang hanya di hargai sebesar Rp. 5.000 sampai Rp. 6.000 rupiah. Artinya petani tidak begitu muluk meminta harga yang tinggi ketika melihat kondisi ekonomi saat ini yang sangat sulit, petani hanya meminta harga lump jenis mingguan sama dengan harga bahan pokok yaitu beras perkilogramnya.
Kondisi harga karet saat ini bagi petani merupakan konsi yang sangat sulit, iya bagi petani yang mempunyai lahan yang cukup luas, namun bukan kah petani kita karekter lahan yang dimiliki merupakan lahan gurem, bisa dikatakan lahan perkebunan karetnya rata-rata hanya 1 Ha bahkan kurang dan kalau dilihat dari produktifitas juga sangat rendah.
Rendahnya produktifitas karet petani salah satunya disebabkan oleh faktor input yaitu bibit atau benih yang digunakan petani sebagian besar masih menggunakan bibit lokal dan belum terstandarisasi, sehingga perlu adanya edukasi dan sumbangsih dari semua pihak untuk keadaan yang berkaitan dengan produktifitas baik dari akademisi, pemerintah dan pengusaha.
Bagi petani meminta harga kembali di angka Rp. 24.000 – Rp. 30.000 perkilogram (jenis Karet Bulanan) merupakan sesuatu yang mustahil dengan melihat kondisi lima tahun terakhir ini, namun petani masih mempunyai asa yang besar terutama bagi petani kecil asa itu diletakkan kepada pemangku kebijakan yaitu pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Keinginan petani pada dasarnya sederhana mereka meminta untuk di perhatikan sama ketika pemerintah memperhatikan ketika adanya gejolak harga pada komoditi sawit. Seperti yang kita ketahui ketika harga sawit turun, akan dengan cepat pemerintah atau stakeholder bertindak atau merespon, hal ini menimbulkan pertanyaan besar bagi petani termasuk saya apakah komoditi karet tidak sestrategis komoditi sawit, atau komotidi sawit yang banyak dimiliki petani besar atau pengusaha dan penguasa bukan rakyat kecil menjadikan itu demikian ? semoga persepsi itu salah.
Karena bagaimanapun Penyerapan lapangan pekerjaan petani atau petani yang mengusahan karet bisa di kategorikan sektor utama di beberapa daerah, total ada kurang lebih hampir 2,5 juta orang menaruh harapan besar pada komoditi karet.
Sehingga bagaimanapun kehadiran pemerintah akan sangat membantu petani, setidaknya ada perhatian khusus dan merajut kembali benang kusut di sektor perkebunan karet baik dari masalah produktivitas, kualitas dan manajemen budidaya.
Kontributor: Alias Zulkipli*
Editor: Oki Aryono
*Mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor program Studi Master Sains Agribisnis