Penulis: Yusuf Maulana
Editor: Oki Aryono
Suaramuslim.net – “TGB tidak sebaik yang kita sangka selama ini. Banyak kasus yang menderanya, hanya selama ini tertutupi.”
Kalimat tersebut, atau yang serupa dengan redaksi sedikit berbeda, beberapa jam ini dihamburkan oleh beberapa al-akh. Mereka memungut beberapa noktah celaan atas gubernur NTB dua periode itu setelah sekian tahun terus memuji di sana-sini. Beberapa hari ke depan ada kans celaan dan umpatan kian menderas. Semacam musim mencela tiba selepas memuji sebanyak menara masjid habis musimnya.
Muasal perubahan itu akibat Tuan Guru Bajang atau Muhammad Zainul Majdi itu menyatakan secara terbuka dukungan pada Joko Widodo untuk menduduki kembali jabatan presiden RI pada lima tahun mendatang.
Sebenarnya preferensi TGB itu hak yang bersangkutan, apa pun motif dan latar yang mendasarinya. Tak mesti terkait dengan pemanggilan atasnya oleh KPK akhir Mei lalu. Bahwa ada beberapa ganjalan kasus selama ini di tingkat lokal lantas disimpan begitu saja oleh sebagian besar orang yang terperanjat hari ini soal mendukung Jokowi, itu juga tak mengherankan.
Label Muslim taat dengan sandangan sosok penghafal Quran begitu memesona banyak al-akh. Kiprah kepemimpinan TGB diidam-idamkan sebagai asa baru Indonesia ke depan. Ditambah pula dukungan para ulama terkemuka pada TGB sebagai calon presiden alternatif dari umat, semua syahdu mengamini yang bersangkutan steril dari hasrat insani.
Al-akh budiman yang telanjur menyanjung TGB seakan lupa pengalaman yang sudah-sudah. Sering kali mudah jatuh cinta dengan hal simbolik, memandang kesamaan identitas dan kiprah seturut sekian waktu seolah-olah bakal jadi pahlawan bagi umat di akhir cerita. Ketika di tengah jalan sang tokoh berubah haluan, al-akh terperanjat bukan kepalang. Sang tokoh disebutnya pengkhianat. Jasa yang semusim lalu dipuji di mana-mana kini dilongsorkan seketika. Tidak ada kebajikan selain keburukan karena satu pernyataan.
Beberapa kejadian berpola serupa sebelumnya masih belum cukup untuk menyadarkan cara menyikapi dinamika politik al-akh. Politik dengan diktum tiada kawan dan lawan abadi seperti senyap oleh mabda bahwa politik itu jalan dakwah yang tak boleh dikotori oleh niat dan proses. Padahal, berpolitik agak pelik kalau dikanalkan sebagai saluran hitam-putih menguji istiqamah keislaman seorang muslim. Di sisi ini banyak al-akh terperangkap kesilapan bernalar dan bertindak.
Sesungguhnya cara kita berlapang menerima sahabat atau tokoh idaman memilih jalan berbeda dengan kita di kemudian hari, merupakan tarbiyah siyasi yang berharga. Kita akan selalu introspeksi dan tegar menjaga fatsun politik tanpa terjebak pada sikap dan langkah pragmatis belaka. Menjaga idealisme dakwah memang harus.
Hanya saja, memasuki politik dan menerima demokrasi sebagai ajang kontestasi berbuat kebajikan, mestilah bersiap dengan segala kejutan. Dan al-akh sering berpikir “lurus” untuk satu medan yang sebenarnya kita mesti zig-zag. Dengan demikian, ketika ada al-akh lain ataupun sahabat dan idaman umat memutuskan taktik lain, kita biasa saja. Tidak panik, malah bersikap tenang membaca langkah antisipasi berikutnya.
Cara kita menyikapi turbulensi seseorang dalam berpolitik amatlah berfaedah buat hari esok. Kita tak resisten dengan perbedaan. Kita imun pada kritik dan siap dengan potensi “pengkhianatan”. Seturut itu kita tak panik dan menuding sana-sini. Kita malah berbesar hati untuk tetap tegar dan menyiapkan serangan balik nan elegan.
Saat ini, serangan balik kita atas perubahan mengejutkan itu baru sebatas cemooh dan umbaran aib sang “pengkhianat”. Kita tak legawa untuk berucap tahniah atas putusan mereka yang dulu pernah sekoci lantas kini berlawanan. Energi kita dihabiskan untuk mereproduksi keburukan sang sahabat atau al-akh tercap “pengkhianat” itu. Lupa untuk mengenang puja-puji sekian waktu pada mereka.
Tak salah pujian itu, tapi esok mari sewajarnya saja. Tak masalah kita sengit dengan putusan belakangan yang membuat kita hendak mencaci maki, tapi tahan dirilah. Kita lupa bahwa perubahan sikap sahabat kita itu tak perlu diiringi perubahan sikap kita menerima kenyataan dia pada waktu lalu. Kita seakan malu pada perubahannya yang akan mengotori “kelurusan” kita dalam bersikap. Lupa bahwa siapa tahu justru kita yang mesti mengoreksi diri. Kemungkinan ke arah itu tetap ada, setidaknya sikap ini jadi rem agar kita tak jadi jumawa sebagai yang paling benar dan islamis.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net