Suaramuslim.net – Dalam bahasa arab, filsafat dikenal dengan istilah “falsafah”, dan di dalam bahasa inggris “Philosophy”, dua istilah ini berasal dari bahasa yunani yaitu “Philosophia”.
Philosophia secara harfiah dimaknai mencintai kebijaksanaan. Orang yang sedang berfilsafat biasanya disebut “filosof”. Istilah philosophia digunakan oleh Phytagoras (sekitar abad ke 6 SM). Makin populer ketika zaman Socrates dan Plato.
Menurut Jan hendrik Rapar dalam Pengantar filsafat (1996) “Untuk memahami definisi filsafat, tidak cukup dengan mengetahui 2 kata philo dan shopia. Karena definisi filsafat cukup banyak, bahkan sebanyak jumlah filosof itu sendiri.”
Jika filsafat bertemu dengan sains, yang terjadi adalah harmoni diantara keduanya sehingga muncul istilah “filsafat sains”. Lantas apa jadinya jika filsafat bertemu dengan Agama? Apakah terjadi harmoni, ataukah justru disharmoni? Artikel ini akan mengulas perjumpaan filsafat dan agama.
Dalam catatan sejarah, Filsafat yang awalnya berkembang pesat di Yunani menjadi redup akibat kedatangan kaisar Romawi Justinianus. Merujuk Buku daras Filsafat Islam (2010), kaisar ini menutup semua kajian-kajian filsafat di di Athena dan aleksandria. Sikap kaisar lebih dikarenakan pengaruh doktrin gereja yang tidak suka akan suasana pemikiran dan ilmu yang bebas. Mulai dari sisi, cahaya obor ilmu dan filsafat padam oleh kekaisaran romawi yang memeluk agama Kristen.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa kekuatan agama melampaui batas, sedangkan nasib filsafat akan segera tertunduk lesu ketika berhadapan dengan kebijakan gereja. Akan tetapi menurut Taufiq at-Thawil, Pertarungan Antara Agama dan Filsafat, (2013) pada zaman renaisance dimana kebenaran sains biologi dan geologi terkuak, filsafat ini naik derajat ke atas dominasi gereja, juga berani mengadakan koreksi terang-terangan terhadap penyelewengan gereja.
Ketika filsafat makin menemukan jati dirinya sehingga berusaha ingin terbebas dari segala pengaruh yang menghambat khususnya pihak gereja. Pada akhirnya pihak gereja bertindak kasar, baik memberangus buku, memenjarakan para penulis sampai pada pengadilan berdarah (inquisition).
Pengadilan berdarah/inkuisisi adalah pemberangusan ajaran yang dianggap sesat lewat jalan pengadilan gereja. Pengadilan yang awalnya dibentuk Paus Gregorius IX ini sepanjang sejarahnya tidak hanya menimpa kalangan filosof, melainkan juga ilmuwan terkemuka Barat seperti Galileo galilei yang temuannya dinilai bertentangan dengan doktrin gereja. Seandainya, pengadilan inkuisisi ini masih diberlakukan pada masa sekarang, mungkin bisa dikategorikan pelanggaran HAM berat yang mengatasnamakan agama.
Kembali ke persoalan pertentangan antara filsafat dan agama di Barat, pertentangan ini terjadi karena unsur fanatisme terhadap doktrin agama dan di sisi lain pihak filsafat yang merambah kajiannya ke “daerah terlarang” dalam sebuah agama.
Dampaknya bisa positif dan negatif. Positifnya jika didekati dengan filsafat adakalanya kebenaran ajaran agama menjadi terang dan logis. Namun bisa pula sebaliknya jika sebuah ajaran agama yang keliru didekati dengan filsafat, otomatis terbongkar kesalahannya. Yang terakhir ini sering membuat agama masehi (Kristen) menjadi kehilangan kesakralannya.
Jadi perlu digaris bawahi, filsafat ketika bertemu dengan agama di Barat akan terjadi pertentangan alias disharmoni. Di masa lampau agama lebih superior dari filsafat dan ilmu eksak, tapi dalam perjalanannya filsafat makin menunjukkan taringnya sehingga ia lebih superior dari agama (kristen).
Lantas bagaimana nasib filsafat ketika di belahan dunia timur? Jika menelaah buku-buku yang mengulas sejarah filsafat orang timur, disana ditemukan kalau filsafatnya selalu berpangkal pada pandangan-pandangan religius dan moral etis serta pola tingkah orang timur sendiri. Dari sini sudah ada sistem filsafat yang bermuatan religi alias mengandung unsur agama yang mengitarinya.
Bahkan sebuah filsafat Tao maupun Konghucu dapat menjelma menjadi sebuah agama. Dalam istilah sidi Galzaba “agama budaya”. Ini berbeda dengan istilah agama samawi. “Agama budaya adalah agama yang dlahirkan oleh filsafat yang awalnya mengkaji masalah dunia ghaib, alam dan manusia, hidup dan mati, ketakutan dan harapan” tulis Sidi Galzaba dalam Sistematika Filsafat (1992).
Pada agama Tao jelas sekali filsafat Lao tze, Agama Konghuchu yang dibentuk Kong hu chu. Kemudian agama Shinto yang erat kaitannya dengan filsafat bangsa Jepang. Di belahan dunia timur ini, filsafat dan agama terjadi sebuah harmoni. Titik temunya mencari sesuatu “yang ada” yang sifatnya ghaib. Titik temunya berikutnya berupa kajian tentang manusia dan alam.
Sekarang beralih kepada bagaimana perjumpaan filsafat dan agama di dunia Islam. Perlu diketahui, filsafat dalam peradaban Islam pernah digunakan sebagai “tameng” akidah dengan segala argumentasi rasionalnya dari serangan-serangan kaum atheis, yahudi dan kristen.
Dalam peradaban Islam dikenal dengan istilah “ilmu kalam”. Namun pernah pada suatu masa eksistensi filsafat di dunia Islam dikritisi oleh ulama besar yang kita muliakan yakni al-Ghazali melalui karya monumentalnya Tahafut al-Falasifah.
Yang dikritik dan dikoreksi oleh al-Ghazali adalah filsafat yang menyimpang dari ajaran Islam. “Oleh karena itu, dewasa ini umat Islam butuh al-Ghazali-al-Ghazali baru yang dapat menelaah dan memahami dengan tuntas aneka macam pemikiran filsafat, sekaligus yang mampu memberi koreksi dan kritikan dengan tepat pula.” Kata Rasidji dalam Islam untuk Disiplin ilmu Filsafat (bulan bintang, 1988).
Sebelum menutup artikel tentang perjumpaan antara filsafat dan agama. Mengutip pendapat Prof. Frans magnis suseno Berfilsafat dari konteks (1992), sebetulnya antara filsafat dan agama, asal dimengerti betul, tidak akan bersaing satu sama lain, melainkan dapat menunjang.
Filsafat tidak bermaksud menjawab semua pertanyaan mendalam manusia dan tidak bermaksud menentukan bagaimana manusia harus hidup. Itu justru fungsi agama. Filsafat menyediakan sarana-sarana intelektual untuk menangani pertanyaan-pertanyaan ini secara wajar. Secara sederhana, filsafat dapat membantu orang beragama untuk mengerti ajaran mereka dan untuk menjawab masalah-masalah kehidupan dengan tepat.
Dari sini kita paham bahwa apa yang dinyatakan Frans magnis hanya bisa ditemukan dalam agama Islam. Ajaran agama kita bisa didekati dengan filsafat karena di dalamnya mengandung banyak aspek-aspek rasional dan bisa dibuktikan kebenarannya.
Berbeda dengan Kristen, disana banyak sekali ajaran yang tidak masuk akal sehingga kalau didekati dengan filsafat; akan terbukti kerancuannya. Dampaknya adalah keyakinan seorang jemaat Kristiani mudah goyah dan sebagian dari mereka menjadi penganut paham atheis dan agnostik. Wallahu’allam bishowwab
Kontributor: Fadh Ahmad Arifan
Editor: Oki Aryono