Suaramuslim.net – Kamis, (5/7/2018) saya berkesempatan hadir pada acara halalbihalal Yayasan Baiturrahman Surabaya. Nah, pada acara itu saya juga bersyukur bisa bertemu dan mendengarkan tausiyah dari guru saya Prof. Daniel M Rosyid tentang pendidikan yang memerdekakan.
Beliau menyitir dialog Lukman dengan anaknya yang menganjurkan agar tidak menyekutukan Allah. Dalam pemahaman kemudian pendidikan yang memerdekakan adalah pendidikan yang mampu melepaskan ketergantungan kepada siapa pun selain Allah. Dalam rangka mewujudkannya lalu beliau memberi ilustrasi sesuatu yang memerdekakan akan bisa dijalankan oleh mereka memegang empat karakter yaitu berani menjalankan yang benar serta jujur dalam bersikap (shiddiq), menjadi pembelajar, memahami kapan harus menjadi guru, kapan bisa menjadi murid (tabligh) , apa yang disampaikan adalah sesuatu yang bisa dipercaya (amanah) serta cerdas dalam menyikapi sesuatu (fathanah).
Semangat pendidikan yang diajarkan adalah sesuatu yang bisa diterapkan, sehingga menjauhkan dari persaingan, tetapi lebih menekankan pada persandingan. Ada semangat kerjasama dan saling mengapresiasi. Selain itu juga mulai mengedepankan relevansi sesuatu yang dipelajari dengan kehidupan yang akan dihadapi oleh anak-anak.
Beliau kemudian menggambarkan bagaimana dakwah Nabi dilakukan dengan mendirikan pasar dan masjid. Dalam pesannya beliau mengatakan bagaimana sebuah pendidikan yang berdimensi kemasjidan (ketakwaan) bisa diterapkan dalam kehidupan sesungguhnya (pasar). Oleh karena itulah beliau sangat menentang keras rezim persekolahan. Sekolah telah merampas hak pengasuhan orang tua. Sekolah seolah-olah telah menjadi penentu akan nasib seseorang.
Bagi Pak Dan, begitu saya memanggilnya, pendidikan yang baik adalah pendidikan rumah, pendidikan yang mengedepankan peran keluarga. Sehingga pendidikan itu tidak boleh melupakan peran orang tua, masyarakat. Sekolah hanya sebagian kecil porsinya. Porsi besarnya ada di masyarakat dan orang tua. Bagi beliaunya, belajar itu bisa dimana saja. Dan tentu yang paling penting dalam belajar mempertimbangkan potensi anak dan bagaimana mengembangkannya.
Merancang Kurikulum Pengembangan Belajar Sendiri
Saya mencoba memahami apa yang diuraikan oleh Pak Dan sebagai sebuah pendidikan yang melibatkan partisipasi publik. Publik yang saya maksud adalah orang tua dan anak. Dalam pelaksanaan memerdekakan anak, setiap keluarga terutama orang tua dan anak diajak untuk menentukan sendiri minat belajarnya, lalu cara mencapainya serta ukuran keberhasilan yang diharapkan. Sejatinya konsep ini pernah saya tulis dalam buku saya “Berhentilah Sekolah Mulailah Belajar” tahun 2012.
Dalam buku itu sebenarnya merupakan pengalaman saya menangani anak-anak korban kekerasan seksual dan anak-anak berkebutuhan khusus. Apa yang saya lakukan hanyalah sebuah keyakinan bahwa setiap anak pasti punya keunikan dan punya kebutuhan.
Tugas saya hanya menemukan keduanya lalu membantu mengembangkannya. Dalam rangka menemukan dan mengembangkan itulah sebetulnya peran anak dan orang tua harus mendapatkan porsi yang lebih besar dibanding peran guru. Guru hanya membantu mengarahkan apa yang sudah dirancang oleh orang tua dan anak. Dengan cara seperti itu ternyata anak-anak saya menikmati proses belajar yang saya lakukan.
Bagi saya memahami pendidikan yang memerdekakan adalah kalau pendidikan itu bisa dilakukan dengan membebaskan anak dari beban yang ditentukan oleh orang lain. Mereka menentukan sendiri apa yang ingin dipelajari dan dicapai, sehingga belajar itu bisa dilakukan dengan senang hati.
*Ditulis di Surabaya, 5 Juli 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net