Suaramuslim.net – Seperti yang kita tahu, Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim as. bersama putranya, Nabi Ismail as.. Ka’bah saat itu masih berupa bangunan dari batu bertumpuk yang berdiri di atas fondasinya. Sejak zaman Nabi Ismail as., tinggi ka’bah hanya 9 hasta atau sekitar 4,05 meter tanpa atap. Kondisi ini membuat beberapa pencuri mampu mengambil barang-barang yang ada di dalamnya.
Namun hal itu belum membuat bangsa Quraisy berfikir untuk merenovasinya. Lima tahun sebelum Nabi Muhammad saw. diutus menjadi Rasul, Kota Mekah dilanda banjir bandang hingga menggenangi Ka’bah dan membuat bangunannya retak dan hampir roboh.
Mengingat kemuliaan Ka’bah, bangsa Quraisy merasa perlu untuk merenovasinya. Mereka sepakat menggunakan dana halal untuk merenovasi Ka’bah. Mereka tidak menggunakan dana kotor, hasil perdagangan riba atau hasil perbuatan dzalim seseorang.
Ketakutan merobohkan dinding Ka’bah
Namun, ketika renovasi akan dimulai, tidak ada seorang-pun yang berani membongkar dinding Ka’bah. Setelah sekian lama, Walid bin Mughiroh al-Makhzumi memberanikan diri menjadi orang pertama yang menggodam (memukul dengan martil besar red) dinding Ka’bah. Walid menghantamkan martilnya sambil berseru, “Ya Allah, yang kami inginkan hanyalah kebaikan!”
Setelah terbukti tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kepada Walid, keesokan harinya masyarakat lainnya turut merobohkan dinding Ka’bah. Mereka terus merobohkannya hingga tersisa fondasi yang dulu dibangun Nabi Ibrahim as.
Lalu mereka membagi jatah pembangunan dinding Ka’bah kepada masing-masing Kabilah. Setiap kabilah mengumpulkan batu, setelah itu mereka mulai mendirikannya. Pembangunan tersebut dipimpin oleh seorang arsitek berkebangsaan Romawi bernama Baqum.
Konflik pemasangan Hajar Aswad
Ketika pembangunan itu sampai pada tempat Hajar Aswad (batu hitam), mereka berselisih tentang siapa yang berhak mendapat kehormatan untuk meletakkan batu itu. Perselisihan berlangsung sampai empat atau lima malam.
Hampir saja terjadi pertikaian diantara mereka, sampai munculah ide dari Abu Umayyah bin al-Mughiroh al-Makhzumi yang menawarkan untuk menyelesaikan masalah ini dengan orang yang pertama kali masuk ke masjid. Mereka pun sepakat atas solusi yang ditawarkan Abu Ummayah itu. Tampaknya Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak agar yang menyelesaikan masalah mereka adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika melihat Rasulullah, mereka berteriak, “Inilah orang yang dapat dipercaya. Inilah Muhammad. Kami menyetujuinya!”
Setelah memahami masalah yang tengah di hadapi, Rasulullah yang kala itu belum diutus menjadi Rasul meminta sehelai kain kepada mereka. Kemudian Hajar Aswad diletakkan diatas kain yang terbentang, masing-masing kepala kabilah yang bertikai diminta untuk memegang ujung kain tersebut, lalu mengangkatnya hingga ke tempat hajar Aswad.
Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengambil Hajar Aswad dan meletakkannya di tempat semula. Mereka pun merasa puas dengan keputusan Rasulullah tersebut.
Kekurangan Biaya
Karena Kaum Quraisy kekurangan biaya, mereka memotong bangunan Ka’bah sekitar enam hasta di sebelah utara. Bagian itulah yang disebut Hijr atau Al Hathim. Selain itu, mereka meninggikan pintu Ka’bah agar tidak mudah dimasuki, kecuali bagi orang yang ingin masuk saja. Kemudian mereka menutup bagian atasnya dengan atap diatas tiang penopang.
Wujud Ka’bah Usai Renovasi
Akhirnya Ka’bah berbentuk segi empat, tingginya 15 meter, dengan panjang sisi tempat menempelnya Hajar Aswad 10 meter. Sementara Hajar Aswad sendiri diletakkan pada ketinggian 1,5 meter dari tanah. Sedangkan panjang sisi yang ada pintunya adalah 12 meter, dengan pintu yang berada di ketinggian 2 meter dari tanah.
Pada bagian luar kaki Ka’bah terlihat dikelilingi balok-balok batu yang disebut Syadzarwan. Tinggi batu itu kira- kira 25 cm, dengan lebar sekitar 30 cm. Syadzarwan adalah fondasi Ka’bah yang tampak muncul ke permukaan tanah, dan orang-orang Quraisy membiarkannya.
Hingga saat ini Ka’bah tercatat lima kali direnovasi. Selain karena bencana alam, renovasi juga dilakukan karena kerusakan akibat pertempuran. Sejatinya umat Islam menjadikan Ka’bah sebagai bangunan mulia karena pemersatu arah kiblat ketika kita mendirikan sholat, dan semata-mata kita menghadap ke arahnya karena menjalankan perintah Allah subhanahu wa ta’ala sebagai wujud ketaatan kita.
Kontributor: Aisy
Editor: Oki Aryono