DHAKA (Suaramuslim.net) – Saya tiba di bandara Hazrat Shahjalal Dhaka pada Senin (9/7) lewat tengah malam, pukul 00.20 Waktu Dhaka. Setelah sebelumnya transit di Kuala Lumpur lebih dari 4 jam. Waktu di Dhaka selisih 2 jam lebih awal dengan waktu di Kuala Lumpur dan Jakarta.
Perasaan saya saat di Dhaka hanya 1, cemas. Karena saya akan menghadapi pihak imigrasi yang konon kata kawan-kawan saya sebelumnya pernah kesini cukup ketat. Dan karena ijin visa saya adalah visa wisata, sementara tujuan saya adalah misi kemanusiaan untuk membantu etnis Rohingya.
Perlu diketahui bahwa soal Rohingya di Bangladesh adalah isu yang sangat sensitif. Kata Mas Amin Sudarsono, relawan yang telah beberapa kali membantu etnis Rohingya di Bangladesh, hanya 2 dari 7 orang Bangladesh yang berpandangan positif tentang Rohingya yang saat ini ditampung di negara mereka. Sisanya, berpandangan mereka adalah ancaman bagi negara. Andaikan nanti misalnya etnis Rohingya diberi kewarganegaraan Bangladesh, sejuta lebih etnis Rohingya akan menjadi pesaing mereka dalam mendapatkan pekerjaan, menambah populasi penduduk yang sudah padat dan seterusnya. Oleh karena itu etnis Rohingya dilokalisir di Cox’s Bazaar dan dilarang sama sekali keluar dari Kamp Pengungsian.
Turun dari pesawat saya langsung mencari money changer untuk menukarkan uang dari Dolar AS ke mata uang Taka Bangladesh. Setelah menukarkan uang yang awalnya cukup tipis dalam Dolar, ketika menjadi Taka cukup tebal. Saat ini kurs 1 Dolar AS sama dengan 84 Taka.
Sambil memasukkan uang kedalam tas, saya mulai berjalan pelan kearah imigrasi. Dan setiba di depan imigrasi, antrean warga negara asing yang hendak ke Bangladesh ternyata cukup panjang, namun yang saya sayangkan saya tak melihat wajah Indonesia dalam antrean dan mungkin hanya saya satu-satunya WNI disitu.
Tiba di antrean petugasnya nampak cukup galak, saya sempat dimarahi karena ambil antrean sebelum mengisi form kedatangan bagi WNA. Otomatis saya harus mundur lagi untuk mengisi form lalu kemudian ambil antrean lagi. Saat mengisi form tentu saya tuliskan tujuan saya adalah Travelling/Vacation. Sebelumnya saya bahkan menghafalkan destinasi-destinasi wisata di Bangladesh khawatir jika ditanya-tanya.
Saat tiba giliran saya untuk diperiksa imigrasi, mereka bertanya kepada saya dimana saya akan tinggal selama di Bangladesh, beruntung mitra NGO disini telah memesankan hotel untuk saya. Namun nampaknya petugas imigrasi masih belum percaya. Ia bertanya “where is the hotel officer that pick you up?” . Beruntung saat saya mencari-cari di depan tempat kedatangan yang tak jauh dari imigrasi ada orang yang melambai-lambai membawa papan nama bertuliskan nama saya.
Saya tunjuk ke arahnya, dan saya sampaikan ke petugas imigrasi “that’s him sir,”. Lalu petugas imigrasi meminta saya memanggilnya “call him,”. Saya pun memanggilnya dan memintanya bertemu petugas imigrasi. Mereka pun berbicara berdua dalam bahasa bengali yang sama sekali tak saya pahami. Selesai berbicara, akhirnya satu hal yang amat sangat saya harapkan malam itu, yakni stempel imigrasi Bangladesh di visa saya akhirnya meluncur untuk distempelkan. “Cetok!,” kurang lebih begitu bunyinya dan saya amat sangat lega, Alhamdulillah.
Akhirnya malam itu saya diantar ke hotel yang tak jauh lokasinya dari bandara, malam itu, saya bisa tidur cukup nyenyak karena cukup kelelahan setelah menempuh perjalanan hampir 12 jam.
Koordinasi Misi Kemanusiaan untuk Rohingya
Selain melakukan liputan, tugas utama saya disini adalah menyalurkan bantuan kemanusiaan untuk muslim Rohingya dari Lembaga Amil Zakat Nasional – Yayasan Dana Sosial Al Falah (YSDF) dengan bantuan dan koordinasi dari Forum Zakat (FOZ) dan Indonesia Humanitarian Alliance (IHA).
Secara legal menurut peraturan di Bangladesh, misi kemanusiaan untuk etnis Rohingya harus berkoordinasi dengan pemerintahan setempat, dan itu cukup rumit. Sehingga selain kepada NGO (Non Government Organization) atau LSM (Lembaga Sawadaya Masyarakat) lokal yang saya akan bekerjasama dengan mereka, saya harus tutup mulut soal urusan saya pada siapapun disini.
Setelah istirahat yang cukup, pada siang hari saya dijemput oleh Shafwan, salah satu staf dari SKB atau Small Kindness Bangladesh. Bersama Shafwan, saya naik Rickshaw becak khas Bangladesh. Kesan pertama kali saat melalui jalanan Dhaka, Dhaka adalah kota yang macet lagi berisik. Entah kenapa orang-orang disini sangat suka membunyikan klakson ketika berkendara. Terlebih saat itu jalanan macet kondisinya sangat berisik, oleh karena itu Shafwan mengajak naik Rickshaw untuk menghindari kemacetan.
SKB adalah salah satu NGO berbasis Islam terbesar di Bangladesh yang salah satu fokusnya adalah membantu Muslim Rohingya. Meski berbasis Islam, mereka memilih nama yang relatif umum dan tidak berbau Islam, selain agar pelayanannya bisa lebih luas, Shafwan mengatakan pemerintahan sekuler di Bangladesh cukup mempersulit lembaga-lembaga keislaman terutama yang punya afiliasi dengan gerakan dan partai Islam, nanti akan saya ceritakan lebih lengkap tentang kondisi perpolitikan disini.
Sebelum ke kantor SKB, Shafwan mentraktir saya makan siang di KFC ala Bangladesh. Makanan disini menurut saya selalu kelebihan rempah-rempah dan merica, termasuk ayam gorengnya, rempahnya menyerap sampai ke dalam. Semua makanannya membuat perut agak panas, perut perlu beradaptasi beberapa hari.
Setibanya di kantor SKB saya langsung disambut hangat oleh pimpinan dan staf disana. Saat masuk terpampang berbagai atribut NGO lintas negara, termasuk Indonesia. SKB amat berpengalaman dalam bekerjasama dan menyalurkan bantuan untuk Rohingya dari berbagai negara.
Sebelum kami rapat membahas program, SKB memperlihatkan kepada saya video dokumentasi program mereka sebelumnya yang bekerjasama dengan Lembaga Amil Zakat dari Indonesia, mereka cukup profesional dalam membuat dokumentasi video.
Saat rapat bersama pimpinan SKB, Abu Huraira dan beberapa staf SKB lain, saya menanyakan kebutuhan terpenting apa yang saat ini jadi kebutuhan etnis Rohingya di kamp pengungsian, terlebih dalam kondisi hujan dan banjir saat ini.
“all needed, because their condition is very limited, they need food, umbrella, they need, hygiene kit, medicine, educational equipment, they need everything,” jawab Abu Huraira kepada saya.
Akhirnya dari rapat itu kami membuat rencana agenda saya selama nanti 10 hari saya di Cox’s Bazaar, lokasi kamp pengungsian Rohingya. Namun bisa jadi kondisi di lapangan berkata lain, dan saya juga menyampaikan bahwa saya perlu melihat langsung bagaimana kondisi disana, sebelum nantinya memutuskan apa saja yang menjadi kebutuhan pengungsi Rohingya.
Satu hal yang penting kita ketahui bersama, bahwa etnis Rohingya belum memiliki masa depan yang jelas. Mereka terombang-ambing tanpa kewarganegaraan, tanpanya mereka tak bisa menentukan nasib mereka sendiri, hendak bekerja dimana, atau hendak berpendidikan apa. Mereka hanya bisa bertahan hidup saja, dengan mengandalkan bantuan luar negeri.
Pemerintah Bangladesh hanya memberi mereka tempat, dan mereka dilarang keluar dari kamp pengungsian yang kabarnya dijaga ketat oleh tentara Bangladesh. Bahkan dari informasi yang saya dapatkan, ketika NGO Bangladesh memberikan pendidikan ke anak-anak, anak-anak dilarang belajar bahasa bengali dan mereka hanya boleh diajari bahasa Myanmar.
Artinya bagi kita, mari kuatkan ikhtiar, sedikit bantuan yang saya bawa mungkin hanya bisa meyambung hidup mereka beberapa pekan saja, sementara mereka harus terus bertahan hidup. Kedepan semoga bantuan bisa kita salurkan terus menerus, diplomasi pemerintah untuk perbaiki nasib Rohingya berjalan mulus, dan doa kita tak pernah putus.
*Ditulis di Dhaka, 10 Juli 2018