Suaramuslim.net – Saat itu Ismail sudah beranjak remaja. Sang ayah yaitu Nabi Ibrahim as., sangat mencintainya. Inilah masa anak tercinta sudah bisa diharapkan untuk membantu pekerjaan orang tua. Tetapi rupanya Allah berkehendak lain. Ibrahim diperintah untuk menyembelih putra yang sangat dicintainya itu. Maka Ibrahim segera menemui Ismail.
“Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu,” ucap Ibrahim dengan nada berat. “Bagaimana pendapatmu, Nak?”
“Ayah, laksanakan apa yang diperintah Allah kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar,” jawab Ismail mantab.
Saya percaya kita semua sudah pernah mendengar dialog ayah-anak di atas. Sebuah dialog legendaris yang selalu diulang-ulang setiap tahun. Dalam beberapa hari ke depan dialog itu juga akan kita dengar dari mimbar-mimbar shalat Idul Adha.
Setiap kali mendengar dialog itu kita semua berdecak kagum. Seorang ayah yang sangat mencintai anaknya meminta pendapat putra remajanya mengenai sebuah perintah Allah. Dan perintah Allah itu berkaitan dengan hidup mati sang putra. Yang lebih mengagumkan lagi ternyata jawaban dari sang anak tidak mengecewakan. Ismail mendukung ayahnya untuk melaksanakan perintah Allah, meskipun itu akan berujung kematian bagi dirinya.
Pembaca budiman, mari kita membayangkan bahwa yang mengucapkan kalimat itu adalah kita sang orangtua kepada anak tercinta. Kira-kira apa jawaban anak kita? Beranikah kita memastikan bahwa anak tercinta kita akan mendukung ayahnya untuk melaksanakan perintah Allah? Ya, hampir bisa dipastikan amat sedikit orang tua yang bisa memastikannya.
Di dalam berkomunikasi kita memahami bahwa pertanyaan yang sama diajukan oleh orang yang berbeda kepada satu orang, sangat mungkin jawabannya berbeda. Bila si penanya adalah orang yang setara atau lebih rendah statusnya dari yang ditanya, maka jawaban dari yang ditanya sering kali jawaban asal-asalan.
Tapi jika si penanya adalah orang yang sangat dihormati, yang ditanya akan berpikir dalam-dalam terlebih dahulu sebelum menjawab. Ia tidak mau gegabah mengeluarkan kata-kata. Lebih jelasnya bahwa kredibilitas si penanya sangat menentukan kualitas jawaban dari yang ditanya.
Jadi mengapa jawaban dari Ismail sangat mengagumkan? Salah satu sebabnya adalah karena yang bertanya bukan orang sembarangan. Yang bertanya adalah seorang ayah yang sangat dihormati oleh anaknya. Ibrahim memang orang yang terhormat di mata orang-orang beriman.
Menjadi orang terhormat bukanlah perkara mudah. Kondisi ini tidak tercipta dari hasil kerja semalam. Perlu perjuangan yang cukup panjang. Dan Ibrahim telah berhasil melakukan itu. Catatan riwayat Ibrahim membuktikan bahwa dia adalah seorang yang layak mendapat penghormatan. Saat di perintah untuk berdakwah kepada Namrudz yang tengah berkuasa, Ibrahim tanpa gentar melakukannya. Ketika diperintah untuk meninggalkan anak istrinya di sebuah lembah kering tanpa kehidupan, yang kini menjadi kota Makkah, Ibrahim pun tunduk patuh.
Allah menyebut Ibrahim sebagai seseorang yang dapat menjadi teladan. Ibrahim adalah pribadi yang patuh kepada Allah dan selalu berpegang teguh pada kebenaran. Ini terekam di dalam Al-Quran surah an-Nahl ayat 120:
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif (selalu perpegang pada kebenaran). Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.
Menjadi jelas permasalahannya. Setiap orangtua yang berhasil menunjukkan kepada anak-anaknya bahwa mereka adalah orang tua yang patut dihormati, maka anak-anak pasti menghormati. Jika sudah demikian, maka setiap perkataan orangtua, baik perintah atau pertanyaan, akan mendapat respon yang baik dari sang anak. Dan untuk menjadi orangtua terhormat itu jalannya adalah mematuhi seluruh perintah Allah dan berpegang teguh kepada kebenaran.
Kontributor: Awang Surya
Editor: Oki Aryono