Suaramuslim.net – Gempa menurut Imam Thabari dalam tafsirnya “Jaami’ al-Bayaan” (1420: 17/478) sebagai momentum manusia untuk mengambil pelajaran, mengingat Allah dan kembali kepada-Nya. Dan itu, dilakukan dengan sangat baik oleh Ayah Buya Hamka Rahimahumullah.
Hamka dalam buku berjudul “Ajahku; Riwajat Hidup Dr. H. Abd. Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera” (1958: 131-134) mencatat dengan begitu menarik bagaimana cara ayahnya dalam menghadapi musibah gempa.
Alkisah, pada bulan Maret 1926 beliau berangkat ke Mesir bersama H. Abdullah mengendarai kapal pengangkut barang “Djember”. Baru kembali dari sana pada bulan awal bulan Juni di tahun yang sama dengan menumpang kapal “Indrapura”.
Sesampainya di Medan beliau mendapat sambutan luar biasa oleh murid-muridnya. Disediakanlah jamuan untuk menghormati ulama besar ini. Di kota-kota lain di Sumatera Timur (seperti: Kisaran dan Tanjung Balai) juga melakukan sambutan yang sama.
Setelah itu, perjalanan dilanjutkan ke Sumatera Barat menuju kediamannya. Sesampainya di Sibolga pada 29 Juni 1926, beliau mendapat kabar kurang baik. Kemarin, tanggal 28, telah terjadi gempa bumi di Padang Panjang. Kabar itu begitu mengguncang hatinya. Pasalnya, rumah-rumah runtuh dan banyak orang mati ditimpa puing.
Perjalanan menuju ke rumah pun tak bisa ditangguhkan lagi. Dengan lekas beliau menaiki auto (mobil) menuju Sumatera Barat. Ternyata, apa yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri jauh lebih hebat daripada kabar yang tersiar. Rumah beliau di Gatangan hancur luluh menjadi abu. Bahkan, surau Djembatan Besi, tempat mengajar beliau dulu, juga luluh lantak.
Mengingat rumah sudah hancur, beliau bersama keluarga pada 30 Juni 1926 pergi Sungai Batang Maninjau. Kondisi saat itu begitu menyedihkan. Rumah sudah tak punya, sementara beliau harus menanggung tanggung jawab keluarga.
Menariknya, musibah yang sedemikian besar ini kata Buya Hamka tidak membuat pendirian hidup ayahnya berubah, malah bertambah teguh. Gempa memang telah menghancurkan rumahnya, namun perjuangannya tetap berlanjut. “Tidak ada harta dunia yang kekal,” tutur Abdulkarim Amrullah kepada Hamka. Selain itu beliau melanjutkan, “Harta Allah pulang kepada Allah.” Masyaallah betapa tegarnya ulama pembaharu ini.
Dengan musibah gempa beliau tak mau berputus asa. Di kampung beliau segera membangun kembali untuk kepentingan diri, keluarga dan umum. Untuk memenuhi kebutuhan itu beliau bekerja keras siang-malam. Jika kebanyakan ulama mengandalkan sedekah, beliau lebih senang bergantung pada usaha sendiri, walaupun terkadang juga tak menolak sedekah.
Untuk mengatasinya, beliau kembali mengarang buku agama. Buku itu kemudian laris, beliau pun sering diundang di daerah Minangkabau bahkan Sumatera. Dari hasil penulisan yang laku keras itu, beliau bisa membangunkan rumah untuk anak dan kemenakannya. Demikian pula tempat tinggal untuk anak dan istrinya, baru kemudian mendirikan kantor untuk menyimpan buku-bukunya yang banyak.
Di kantor tempat menyimpan buku yang dinamai “Kutub Chanah” itu, beliau menerima banyak murid untuk belajar. Di sana pula banyak orang alim menelaah dan menanyakan hukum-hukum. Pada gilirannya, banyak sekali orang yang menuntut ilmu di Sungai Batang.
Dari kisah ini, pembaca bisa tahu bagaimana cara ayah Hamka dalam mengatasi musibah gempa. Ujian dari Allah ini tidak membuatnya meratap begitu panjang atau tak menjadikannya berputus asa, namun justeru menjadi bahan evaluasi dan pelecut diri dan bangkit menuju perubahan yang lebih baik.
Selain itu, untuk mengatasi musibah ini, beliau bekerja keras untuk membangun kembali bangunan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Dengan waktu yang tidak begitu lama, beliau bisa mengatasi musibah tersebut dan bisa kembali berdedikasi untuk kepentingan dakwah dan umat.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono