Suaramuslim.net – Menikah memang bukan saja menyatukan seorang laki-laki dan seorang perempuan. Lebih dari itu adalah menikahkan 2 keluarga. Dan awal menikah adalah masa jantung senantiasa berdebar. Akankah menantu akan diterima dengan baik oleh mertua?
Pertanyaan itu akan menghantui saat bertemu dengan mertua dan sering kali salah tingkah. Khawatir salah. Namun jika diam saja, juga ada ketakutan mertua berprasangka yang tidak-tidak. Tidak hanya di awal menikah, di hari-hari selanjutnya pun jantung tak berhenti berdetak kencang.
Seorang ibu muda faktanya juga stres tinggal bersama mertuanya. Sampai-sampai baby blues pun dideritanya. Merasa paling salah dan tidak bisa apa-apa. Bahkan ada yang sampai menangis di kamar karena mertuanya mengambil alih peran dirinya sebagai ibu dari bayi yang baru dilahirkannya. Dan masih banyak kasus yang menyatakan bahwa konflik antara menantu dan mertua itu ada.
Lantas bagaimana mengatasi ini semua? Tak bahagia sekali jika berkeluarga, membina rumah tangga masih ada pernik-pernik negatif seperti ini. Coba lakukan beberapa hal berikut ini
Samakan Visi Misi Keluarga
Iya, istri harus sevisi dengan suami. Tak mudah merumuskan ini, karena istri dan suami beda isi kepalanya. Namun, bukan berarti tidak bisa. Menikah dan membina rumah tangga pada akhirnya akan memaksa istri dan suami melakukan ini. Agar tahu arah keluarga itu menuju ke mana.
Sehingga jika ada pergesekan idealisme dengan mertua, akan bisa mencari solusinya. Bahkan bisa bijak menyikapi. Adakalanya idealisme mertua ada yang sama dengan visi misi keluarga, ya, itu akan sangat bagus dalam membina hubungan dengan mertua. Bagaimana akan tahu sama tidaknya, jika istri dan suami tidak mengerti apa visi misi keluarganya.
Komunikasi yang Efektif
Kalau menantu dan mertua sama-sama suka masakan rendang, itu tidak akan menimbulkan masalah. Tapi, jika menantu dan mertua selera masakannya beda, itu yang akan memicu konflik. Mertua sudah bersusah payah memasak untuk menantunya yang baru saja melahirkan, eh, ternyata menantu lidahnya belum bisa bersahabat dengan masakan mertua. Menantu tidak makan. Mertua mulai berprasangka buruk kepada menantu.
Kalau menantu dan mertua sama-sama sepakat tak ada televisi ketika ada anak-anak, itu dunia akan tenang. Tapi, jika mertua hobi nonton sinetron sedang menantu melarang anak-anaknya menonton televisi, nah, ini akan memunculkan perselisihan.
Bagaimana mengatasi? Komunikasi. Bahasa yang lembut diperlukan dalam hal ini. Pasangan yang menjadi anak dari mertua, dialah yang mengambil peran utama. Sudah mengenal karakter orang tuanya sendiri sehingga komunikasi akan lebih efektif.
Mengganti yang Dilarang dengan yang Lain
“Sudah, nggak usah dicuci piringnya, nanti kotor bajunya,” kata mertua kepada menantunya.
Lantas apa yang dilakukan menantu? Amannya, tidak perlu mengeyel mencuci piring. Namun, jangan lantas diam duduk bertopang dagu. Lakukan kegiatan lain yang bisa dilakukan di rumah mertua. Menyapu dan mengepel lantai rumah, misalnya.
Mertua senang dituruti keinginannya, tapi juga berharap ada sesuatu yang menyenangkan hatinya yang bisa dilakukan menantunya. Tak boleh bantu memasang pagar sama bapak mertua, ya menantu laki-laki bisa membantu memasang lampu yang sudah mati di atap rumah. Dan lain sebagainya.
Cara seperti cukup efektif merekatkan hubungan mertua dan menantu. Ridho ketika dilarang melakukan sesuatu dan ikhlas ketika mengganti dengan aktivitas yang lain. Ridho itu tidak memaksa dan menggerutu. Mertua melarang agar tidak ikut memancing ikan di kolam karena ketakutan menantunya nanti jatuh maka tetap senyum. Menantu bisa mengganti mencuci motor dengan ikhlas dan senang hati.
Biarkan, Itu Bukti Sayang
Rasa sayang nenek dan kakek kepada cucunya itu adakalanya lebih besar daripada sayangnya orang tua kepada anaknya sendiri. Menantu bersama pasangannya sepakat untuk kue anak-anak hendaknya yang tidak mengandung MSG, sedangkan mertua berbeda ketika membelikan kue kepada cucunya. Lagi-lagi, hal ini membuat menantu sewot.
Ah, ijinkanlah. Selama tidak melebihi batas kewajaran biarkan nenek dan kakek alias mertua melakukan sesuatu untuk cucunya. Itu bukti sayang mereka. Apalagi jika mertua jarang bertemu dengan cucunya. Tentu saja, sambil mengingatkan kembali aturan yang sebenarnya kepada anak sendiri, sehingga anak pun tidak berlebihan. Atau bisa saja menolak halus apa yang dilakukan mertua kepada cucunya.
“Nek, terima kasih sudah membelikan jajanan buat Amir, kalau bisa besok-besok dibelikan kue basah saja. Amir terbiasa jajan itu.”
Contoh lain lagi adalah misalkan ketika menantu menggantikan peran yang semestinya adlah kewajiban menantu. Biarkan saja, itu bukti sayang. Apalagi jika jarang bertemu. Mertua ingin memandikan cucunya dengan air hangat. Kebetulan cucunya masih bayi. Ijinkan saja. Apa susahnya. Bukankah ini dapat membantu menantu memiliki waktu me time sejenak?
Jadi sebaliknya justru berterima kasih kepada mertua karena meringankan pekerjaannya. Kalaupun ada perbedaan cara memandikan bayi, itu sah-sah saja. Jangan terlalu dipusingkan dan diributkan.
Konflik antara menantu dan mertua sering kali ada. Muncul tanpa disengaja. Ini merupakan dari dinamika berumah tangga. Menyikapi dengan tenang dan pikiran positif maka akan menyuguhkan solusi yang kooperatif. Melakukan minimal 4 cara di atas, semoga bisa membantu mengurai konflik yang terjadi.
Kontributor: Henny Puspitarini
Editor: Oki Aryono