SURABAYA (Suaramuslim.net) – Puluhan warga eks lokalisasi prostitusi Dolly menggugat Pemkot Surabaya akibat penutupan salah satu bekas lokalisasi terbesar di Asia Tenggara ini. Gugatan didaftarkan ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (23/7/2018). Mereka menilai kerugian materil dan immateril yang digugat mencapai 270 miliar rupiah.
Kuasa hukum warga eks lokalisasi Dolly, Okky Suryatama mengatakan, pihaknya mendesak Pemkot Surabaya memberi ganti rugi atas kerugian materiil dan immateril dari korban penutupan lokalisasi.
Menurutnya pasca penutupan lokalisasi Dolly sekitar 3,5 tahun, janji Pemkot akan ada kesejahteraan ekonomi warga setempat tak kunjung membaik. Meski sudah berupaya membangun usaha secara mandiri, tetapi hasilnya hanya pas-pasan. Selain tak mendapatkan kesejahteraan, warga juga tidak mendapatkan kompensasi atas penutupan lokalisasi ini.
Sementara itu, Forum Komunikasi Warga Jarak Dolly (Forkaji) dan Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kota Surabaya menolak gugatan class action kepada Pemkot Surabaya yang dinilai merenggut mata perekonomian warga Dolly dan menuntut ganti rugi kepada pemkot sebesar 270 miliar rupiah di depan PN Surabaya, Kamis (30/8/2018).
Pasca Penutupan Dolly
Humas Forum Masyarakat Jarak dan Dolly, Muhammad Nasikh dalam Talkshow Ranah Publik di radio Suara Muslim Surabaya 93.8 fm membenarkan jika faktor ekonomi menurun drastis pasca penutupan Dolly, akan tetapi hal yang lebih penting adalah masa depan generasi penerus.
“Saya ini termasuk penduduk asli dan generasi penerus Dolly sejak tahun 1980, melihat kondisi yang tidak wajar di masyarakat, saya membayangkan jika tidak diakhiri 2014 lalu, bagaimana Dolly ini bisa mempengaruhi generasi penerus, seperti anak kita, cucu kita dan semua pihak“, ucap Nasikh.
Berbeda dengan Syahroni penelpon dari Surabaya mengatakan, pihaknya mendukung penutupan Dolly, namun harus ada solusi bagi warga setempat yang kehilangan pekerjaan. Kalau Pemerintah Kota Surabaya hanya memberikan modal usaha tapi tidak memberikan pelatihan dan pendampingan secara rutin, maka praktik mesum terus masih berlangsung.
“Memang ada kebaikan dengan penutupan lokalisasi Dolly oleh Walikota Surabaya, tetapi dampaknya akan merambah ke kampung-kampung berbentuk mini cafe, fisiknya warung namun di belakang banyak praktik mesum.” Tutur Syahroni.
Menanggapi hal itu, Nasikh menyebut, persoalan lapangan pekerjaan banyak warga Putat Jaya (eks Dolly) diutamakan menjadi pegawai outsorsing Pemkot.
”Sayangnya sebagian mereka menolak akibat pengaruh temannya, begitu pula pelatihan yang difasilitasi Pemkot, namun seiring berlalu pelatihan semakin sedikit diminati, ini yang menjadi tugas bersama.” Papar Nasikh.
“Tugas pemerintah sudah menutup Dolly, namun pemkot juga membutuhkan peran aktif masyarakat, tanpa kebersamaan maka tidak akan berhasil”, lanjut Nasikh.
Nasikh menjelaskan, harta akan berbeda jika didapat dengan cara yang baik maka keberkahan yang muncul. “Memang sebelum ditutup warga merasa uang berlimpah namun akan cepat habis”, ceritanya.
Penelpon berikutnya Heru dari Surabaya mengatakan, ia sependapat pentingnya menutup lokalisasi Dolly, sebagai seorang pendongeng yang bersentuhan dengan generasi muda, maka penting bagi anak-anak menjadi generasi yang saleh-salehah.
“Karena meskipun wajah mereka anak-anak namun jiwanya bukan anak kecil, mereka sudah terpengaruh lingkungan sekitar. Kami mempunyai pengalaman yang mengerikan ada anak kecil laki-laki menawarkan dirinya kepada istri saya. Kalau seperti ini bagaimana generasi muda Surabaya”, tutup Heru.
Siapa Yang Diuntungkan?
Sementara warga eks lokalisasi Dolly yang tergabung dalam Forum Komunikasi Warga Jarak-Dolly menuntut tidak diperbolehkannya lagi keberadaan rumah karaoke di lokasi itu. “Padahal jika dicek mereka yang berdemo bukan KTP asli warga Dolly. Lantas ini siapa?” Tanya Nasikh.
Nasikh menegaskan, sudah jelas ada para pemilik modal di balik tuntutan mereka meminta karaoke dilegalkan, tetapi hal berbeda yang disampaikan kepada media.
“Persoalan rumah warga digeledah itu wajar, bukankah minuman keras, ruang karaoke yang tidak kedap suara dan purel (wanita panggilan), itu melanggar hukum, ya jelas salah,“ terangnya.
Sama halnya dengan Feri penelpon lainnya yang menanggapi. “Ada masyarakat yang menggugat tentang Dolly yang jelas-jelas melanggar aturan itu aneh, jelas ini tujuan pribadi, bukan mensejahterakan masyarakat, maka saya kira tempatnya di neraka,” Tegas Feri.
Nasikh mengatakan, sebenarnya justru mayoritas warga asli bekerja di luar. Malah mereka yang bukan penduduk asli yang banyak bekerja di Dolly. “Saya yakin presentasenya sedikit jika ada penurunan ekonomi warga”, analisa Nasikh.
Melalui pesan singkat, Ryan, pendengar radio menyebut penutupan lokalisasi oleh Pemkot Surabaya sudah tepat dan benar. Menurutnya saatnya Surabaya bersih dari segala bentuk kemaksiatan. “Ini bukan masalah ekonomi. Ini merupakan langkah menyelamatkan generasi muda yang akan datang”, tulis Ryan.
Menanggapi hal itu Dewan Redaksi Suara Muslim Fajar Arifianto menyebut, Dolly sudah resmi ditutup sejak 2014, tentunya membutuhkan kerjasama seluruh pihak jika menginginkan menutup hingga akarnya.
“Yang terpenting kita selamatkan generasi mudanya ini, jangan sampai upaya sekelompok orang yang ingin mengembalikan tempat hiburan meskipun hanya tempat karaoke, tetapi ini justru pintu masuk untuk membuka kembali peluang dibuka Dolly,” pungkasnya.
Menurut Fajar, “kehadiran pemerintah bersama tokoh masyarakat sangat penting. Artinya keputusan walikota 2014 silam menutup prostitusi merupakan keputusan final untuk kebaikan warga Jarak-Dolly ke depan. Ketika ada praktik yang belum beres tentu itu menjadi suatu catatan yang harus diperbaiki, jika dibiarkan, maka bisa jadi Dolly eksis kembali”, jelasnya.
Hakim Tolak Gugatan Warga Eks-Lokalisasi Dolly
Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya Dwi Purnomo menolak gugatan yang mengatasnamakan warga Eks-Lokalisasi Dolly kepada Pemerintah Kota Surabaya (3/9/2018), gugatan perdata yang diajukan class action sebesar 270 miliar ini tidak dapat diterima.
Majelis Hakim menilai, gugatan kelompok yang dilayangkan tidak memenuhi syarat formal gugatan class action, sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 .Penggugat dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara terkait keputusan pemkot Surabaya.
Sebelumnya, gugatan class action ke Pemkot Surabaya dan Satpol PP dilayangkan Komunitas Pemuda Independen dan Front Pekerja Lokalisasi pasca penutupan eks lokalisasi Jarak-Dolly. Mereka menuntut ganti rugi 270 miliar dengan dalih perampasan hak ekonomi masyarakat.
Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir