Pengaturan Loud Speaker dan Rendahnya Skala Prioritas

Pengaturan Loud Speaker dan Rendahnya Skala Prioritas

Pengaturan Loud Speaker dan Rendahnya Skala Prioritas

 Penulis: Dr. Slamet Muliono

Suaramuslim.net – Terbitnya Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas) Kementerian Agama tentang penggunaan penggunaan pengeras suara di masjid, langgar, dan Mushalla menimbulkan polemik di masyarakat. Umumnya mereka menganggap bahwa kebijakan ini membatasi kebebasan beragama. Meski ada penjelasan dari pihak Kemenag bahwa Instruksi Dirjen Bimas itu bukan melarang adzan, melainkan hanya mengatur volume penggunaan pengeras suara, tetapi masyarakat muslim menganggap hal itu sebagai campur tangan terhadap hal-hal yang kurang strategis. Keadilan sosial dan ketimpangan ekonomi merupakan akar munculnya konflik sosial, sehingga layak menjadi prioritas.

Suara Adzan dan Panggilan Shalat

Gema suara adzan sudah berlangsung demikian lama di Indonesia dan tidak ada yang mempersoalkan. Hal ini karena adzan adalah salah satu ritual untuk memanggil kaum muslimin ke masjid guna melakukan shalat berjamaah. Namun belakangan ini muncul aturan untuk mengatur volume dan suara adzan. Munculnya pengaturan penggunaan pengeras suara (loud speaker) tidak lepas -entah terkait atau tidak- karena munculnya kasus Meiliana yang merasa terganggu dengan suara adzan di Tanjung Balai, Sumatera Utara. Meskipun Meiliana telah divonis 1,5 tahun penjara, namun implikasi kasusnya, seolah-olah menjadi pintu masuk terbitnya Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam itu.

Berbagai reaksi terhadap pengaturan terhadap penggunaan pengeras suara dianggap sebagai langkah untuk membatasi suara adzan. Hal ini tentu saja memantik sejumlah reaksi dari umat Islam yang menyatakan sebagai sebuah pengerdilan Islam. Di beberapa ada yang menambah loud speaker guna menunjukkan perlawanan. Bahkan mereka beralasan untuk menunggu siapa saja yang merasa terganggu. Mereka beranggapan bahwa hanya setan yang merasa terganggu dengan suara adzan.

Bahkan ada yang mengaitkan pengaturan penggunaan pengeras suara itu sebagai bentuk tekanan terhadap kebebasan beragama bagi umat Islam. Dalam pandangan mereka terlalu kecil bagi negara (Kemenag untuk mengatur volume adzan). Memang ada reasoning yang dibangun oleh pihak Kemenag tentang pentingnya instruksi itu. Tetapi dalam pandangan global itu menunjukkan campur tangan pihak lain yang kurang nyaman dengan perkembangan Islam.

Umat Islam belum lupa berita tentang pelarangan adzan yang dilakukan Israel di tanah Palestina. Hal ini merujuk pada sidang parlemen Israel pernah meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Muadzin, dimana melarang pengeras suara ketika mengumaandangkan adzan. Sebagaimana terjadi bahwa RUU Muadzin itu disetujui PM Benjamin Netanyahu. Argumentasi yang dibangun bahwa adzan suaranya keras dan tak masuk akal serta cenderung mengganggu setiap saat sepanjang hari. Netanyahu menyampaikan bahwa banyak keluhan berbagai level masyarakat Israel yang terganggu dengan kebisingan suara adzan dari tempat-tempat ibadah. Motti Yowev dari partai Jewish begitu gigih meloloskan RUU ini. Ia juga menyatakan bahwa hal ini merupakan bagian penting dari legislasi sosial yang memungkinkan orang Arab dan Yahudi untuk bersantai selama jam istirahat.

Apa yang terjadi di Palestina bisa jadi menjadi bibit bagi munculnya pelarangan adzan di Indonesia dengan melakukan secara bertahap. Awalnya mengatur volume, dan nantinya dengan alasan toleransi atau kenyamanan maka akan muncul larangan adzan. Tentu saja kebijakan ini akan mengarah kepada umat Islam. Seolah umat Islam terus menjadi sasaran munculnya kebijakan dengan berbagai alasan yang dicari-cari. Padahal adzan merupakan ruh bagi tegaknya shalat berjamaah dalam komunitas Islam.

Umat Islam dan Toleransi Agama

Sungguh ironis kebijakan membatasi kebebasan beragama justru muncul di negara mayoritas muslim. Yang lebih tragis lagi, yang melahirkan kebijakan itu jutsru kementerian agama (Islam). Masyarakat memandang bahwa berbagai kebijakan Kemenag cenderung menyasar pada umat Islam. Dengan kata lain, kebijakan yang muncul seolah menjadikan umat Islam sebagai sasaran. Sementara pihak pemerintah, dalam hal ini Kemenag tidak pernah sedikitpun menyinggung soal terganggunya umat Islam atas berbagai praktek agama yang demikian besar dan melebihi porsi, seperti perayaan Natal.

Semaraknya penyambutan Natal seringkali tidak pernah disorot dalam bentuk kebijakan. Padahal perayaannya seolah-olah Indonesia ini adalah negeri mayoritas Nasrani. Berbagai tempat, jauh sebelum 25 Desember telah menyambut datangnya Natal, mulai dari rumah makan, hotel, atau jalan-jalan protokol. Bahkan stasiun televisi terus menyiarkan secara besar-besaran. Bahkan dimunculkan opini adanya ancaman, sehingga gereja harus dijaga dan diperketat keamanannya. Ormas Islam pun bersiap siaga untuk menjaga gereja karena dianggap terancam dari kelompok teroris atau bom.

Perayaan acara Hindu di Bali juga tidak pernah dipermasalahkan, seperti ketika harus menghentikan aktivitas masyarakat. Bahkan ada larangan melintas jalan atau melarang diperdengarkannya suara adzan ketika hari tertentu ketika berlangsung puncak perayaan acara agama Hindu itu. Dalam hal ini, umat Islam toleran dan tidak pernah mempermasalahkannya. Mereka nyaris aman dan nyaman dalam melaksanakan perayaan ibadah agamanya.

Umat Islam terus dipaksa untuk bersikap toleran dalam setiap keluarnya kebijakan. Seolah-olah umat Islam adalah sekelompok masyarakat yang selalu membuat kekacauan dan sulit diatur, serta mengganggu keberadaan kelompok masyarakat lain. Maraknya pemenjaraan ulama dan tokoh-tokoh Islam merupakan kebijakan yang berangkat dari pandangan bahwa umat Islam merupakan ancaman, sehingga harus dimarginalisasi dari kehidupan publik.

Sudah saatnya umat Islam tidak lagi dicurigai sebagai kelompok masyarakat yang membahayakan negara atau ancaman NKRI. Kebijakan negara yang cenderung menyalahkan dan menyudutkan umat Islam hanya akan menciptakan konflik baru. Ada hal-hal yang lebih strategis yang harus diurusi oleh negara, seperti menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Bukan mengurusi hal-hal yang sudah berjalan secara tertib dan damai di masyarakat, sehingga energi anak bangsa ini tidak terbuang sia-sia.

*Ditulis di Surabaya, 4 September 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment