Suaramuslim.net – Tanpa mengabaikan beberapa andil pembangunan infrastruktur olehnya, penegakan hukum dan rasa keadilan di pemerintahan Joko Widodo masihlah jauh dari memuaskan. Bahwa ada capaian positif di beberapa kasus, seperti dalam pembubaran mafia minyak Petral. Ini tidak dapat menafikan masih jauhnya rasa keadilan bagi banyak pihak.
Hukum terlampau kasat mata condong ke pihak yang menyokong kekuasaan. Kepada pihak-pihak yang berada di sisi penguasa, hukum seperti enggan menyentuh, belum sampai memenggal kejahatannya. Di lain pihak, hukum begitu tegas, tanpa pandang bulu, bagi pihak yang dianggap kritis kepada kekuasaan. Batasan kritis dan caci diabaikan seolah-olah keduanya sinonim.
Kekuasaan yang diiringi penumpang gelap memang selalu menyisakan luka bagi warga negara kebanyakan. Terlalu banyak janji-janji yang diabaikan, dan ini dianggap angin lalu saja oleh kekuasaan. Integritas kekuasaan saat ini sejatinya begitu menyedihkan. Hanya karena topangan berita media di mana-mana semua seolah wajar malahan berkinerja luar biasa. Senyatanya, keadilan dan nurani tengah dipertaruhkan.
Berkali-kali rakyat mendapati akrobat retorika yang saling melepaskan tanggung jawab. Semua tak mau dipersalahkan. Semuanya karena sang pemimpin fakir kepedulian. Setidaknya kepedulian untuk menolehi ucapan yang pernah dibanggakannya. Yang dikhawatirkan adalah saban ia berjanji dan berkoar di media, semua itu hanya spontanitas tanpa pemikiran panjang dan mendalam. Kadung dipuja di mana-mana sampai abai bahwa ada soalan hukum yang ditabrak.
Karena itulah, perayaan simbol yang marak pada masa kekuasaan hari ini mestilah ditolak dan dilawan oleh Muslimin dalam kerangka maqashid syar’iyyah. Seberapa jauh dan kuat objektif beragama diperhatikan dengan benar oleh kekuasaan. Hukum-hukum yang mengikat muslimin dihormati tanpa mengabaikan hak warga di luar Islam. Dan upaya yang patut diperjuangkan adalah bukan lagi dengan bahasa-bahasa eksklusif keislaman, yang hanya melahirkan tentangan balik. Terlebih ketika komodifikasi status ulama telanjur diperbuat tim penguasa dalam kontestasi tahun depan.
Bukan masanya lagi melawan serbuan caci dan fitnah pendukung penguasa lewat cara-cara serupa. Ini bukan cara islami, kendati ada saja ulama yang mengafirmasi kebolehan membalas dengan laku serupa dengan istinbath hukum pada kasus berperang. Masalahnya, seberapa efektif untuk menyentuh publik akan nilai damai Islam beserta ketegasannya?
Di sinilah diperlukannya kedewasaan untuk menyambut kekuasaan, juga kemenangan, selepas era perayaan simbol-simbol artifisial atau pencitraan saat ini. Dewasa untuk menerapkan keislaman tak sebatas simbol tapi penanaman nilai yang bisa berlaku bagi semua kalangan, tak terkecuali para eks pihak penguasa. Ada agenda penyadaran berupa dakwah bahwa Islam tidak seperti yang mereka fitnahkan selama ini. Begitu terbelahnya sebagian warga republik ini, salah satunya adalah dalam menyikapi antusiasme sebagian muslimin dalam menawarkan agenda pemformalan syariat Islam.
Kalau saja agenda syariat Islam ditarik pada dijalankannya konten-konten objektif dari hukum syarak itu, maka selesailah persoalan. Soal penamaan tak mestilah harus kaku merujuk pada agama. Nalar untuk menerima Islam masih terbentang lebar bagi mereka yang berada di kubu fobia Islam ataupun sekularis militan. Dan mereka inilah yang berada kuat di kekuasaan sekarang, di sekeliling presiden.
Serangan simbolik pada Islam(isme) mestilah dijawab dengan ketegasan pada aturan main yang disepakati. Hukum yang berlaku ditetapi dan dijalankan dengan sungguh-sungguh. Masa-masa Joko Widodo berkuasa mesti didefinisikan bukan sebagai kekuasaan pembenci Islam. Tidak, tidak begitu. Akan tetapi, sebaiknya arahkan sebagai kekuasaan yang banyak menutup mata pada penegakan keadilan hukum.
Dengan demikian, kekuasaan setelah Joko Widodo haruslah tegas membuat demarkasi; kami tegas pada aturan hukum; menjunjung adab sebagai teras hukum. Inilah slogan yang harus ditebarkan dalam mencapai upaya terwujudnya negeri yang dirahmati Allah. Pos-Jokowi, dengan begitu, satu era yang ditandai pemulihan karut-marutnya hukum. Hukum ditegakkan, dibenahi, tanpa pandang bulu, termasuk kalangan sendiri. Agar ada pembeda jelas kekuasaan hari ini yang lalim, dan kekuasaan berikutnya yang beradab.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net