Suaramuslim.net – Imam Syafi’i dalam buku Dîwân al-Imâm al-Syâfi’i (1431: 137-138) menulis sajak menarik yang berjudul Safînah al-Mu`min (Bahtera Mukmin). Melalui bait-bait yang digambarkan dengan indah ini, beliau menggambarkan bagaimana hamba-hamba mukmin yang cerdas memandang kehidupan dunia menuju negeri kekekalan (akhirat):
إِنَّ لِلّه عِبَاداً فُطَنَا تَرَكُوْا الدُّنْيَا وَخَافُوا الْفِتَنَا
نَظَرُوا فِيْهَا فَلَمَّا عًلِمُوْا أَنَّهَا لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَا
جَعَلُوهَا لُجَّةً وَاتَّخَذُوا صَالِحَ الْأَعْمَالِ فِيْهَا سُفُنًا
Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang cerdas
Mereka meninggalkan dunia dan takut fitnah
Mereka melihatnya dan tatkala tahu, bahwa dunia bukanlah tempat (abadi) bagi manusia
Mereka menjadikannya sebagai lautan yang dalam dan membuat amal-amal saleh sebagai bahtera (untuk mengarunginya)
Berdasarkan bait-bait ini, hamba-hamba yang cerdas menurut Imam Syafi’i adalah yang meninggalkan dunia dan takut fitnah. Meninggalkan dunia tentu saja bukan berarti anti dunia, tapi tidak silau terhadapnya. Terkait hal ini, ada doa menarik yang perlu direnungi:
اللّهُمَّ اجْعَلِ الدُّنْيَا فِى أَيِدِيْنَا وَلَا تَجْعَلْهَا فِي قُلُوْبِنَا
“Ya Allah! Jadikanlah dunia di tangan kami dan jangan menjadikannya di dalam hati kami.” (Wahid Abdus Salam Bâli, Wiqâyatu al-Insân min al-Jin wa al-Syaithân, 138). Artinya, kita tetap berinteraksi dengan dunia tapi jangan sampai dunia memperbudak kita.
Di samping itu, mereka juga takut akan fitnah. Dunia dengan semua keindahan dan gemerlapnya, menyimpan banyak fitnah. Bagi hamba yang tak waspada, maka akan jatuh ke dalamnya. Hamba-hamba mukmin memang tidak anti dunia. Tapi, dunia dilihat sebagai tempat hidup sementara. Kehidupan dunia tak ubahnya seperti lautan yang dalam dan gelap. Tentu saja lautan bukanlah tempat singgah, tapi jalan menuju kehidupan abadi menuju akhirat.
Lalu apa bahteranya? Menurut beliau, bahtera untuk mengarungi lautan kehidupan dunia adalah amal-amal saleh. Maka untuk menggapai kesuksesan dalam mengarungi dunia, kuncinya adalah iman dan amal saleh. Tidak berlibihan jika Imam Syafi’i memberikan komentar unik terkait Surah Al Ashr (yang di dalamnya juga membahas keimanan dan amal saleh):
لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّورَةَ لَوَسِعَتْهُمْ
“Seandainya manusia mentadabburi surah ini, maka cukup bagi mereka.” (Tafsîr al-Qur`ân al-‘Adzîm, VIII/456).
Pernyataan ini memang benar adanya. Berdasarkan Surah Al Ashr, pada dasarnya semua manusia akan merugi, kecuali yang memiliki 4 kualifikasi: beriman, beramal saleh, saling menasehati kepada kebenaran dan saling menasehati agar bersabar. Jika ayat tersebut benar-benar direnungkan dan diamalkan, maka sangat cukup untuk dijadikan pedoman hidup menuju akhirat.
Di sisi lain, kalau diperhatikan dalam Al Quran, memang kata iman sering kali ditautkan dengan amal saleh (sekitar 51 kali bergandengan), seakan-akan keduanya adalah satu paket yang tidak bisa dipisahkan jika menginginkan kesuksesan menuju akhirat.
Masalahnya, yang menjadi pertanyaan mendasar adalah sudah benarkah kita dalam mempresepsikan dunia? Terlebih, bahtera berupa iman dan amal saleh apa benar-benar sudah disiapkan dengan baik untuk menyusuri lautan dunia menuju akhirat? Tiada kata terlambat. Selama matahari belum terbit dari barat, maka masih sempat untuk berbuat dan bertaubat.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono