Suaramuslim.net – Khalifah al-Musta’shim pantas menyesali mengabaikan nasihat putra dan panglima perangnya ketika Nasirudin al-Thusi berkhianat padanya. Sang saintis istana Khalifah ini diam-diam bersekongkol dengan Hulagu Khan. Ia dan wazir al-Alqami membuka tabir cara masuk ke Baghdad. Alhasil, serbuan Tartar pada Februari pekan akhir pada 1258 berujung jatuhnya kekhalifahan. Bahkan ambruknya dunia pengetahuan akibat kengerian yang dihadirkan Hulagu Khan.
Al-Thusi dan Alqami menganut keyakinan Syiah. Bukan masalah karena toh Abbasiyah adalah daulah yang terbuka bagi siapa saja bahkan bukan muslim sekalipun selagi berkontribusi pada dunia keilmuan. Perkecualian bagi anak keturunan Bani Umayyah, tak ada tempat bagi mereka. Pangkal dan ujung pengkhianat di akhir periode Abbasiyah era Baghdad bukan soal hadirnya orang “luar” di tengah kita. Apalagi ini sudah mentradisi.
Ada mekanisme imun yang dianggap kokoh. Dan dari sini lahir kepercayaan diri kuat untuk menerima siapa pun. Tapi di sisi ini kadang masuk kecerobohan. Memandang dekat orang yang jauh, dan sebaliknya memandang jauh orang yang dekat. Pengalaman dan kepercayaan diri mengabaikan kemungkinan hal anomali berlaku.
Maka, orang “luar” mengkhianati sejatinya tak berbeda dengan kans pengkhianatan dari “orang kita”. Kejernihan memilah dan membaca kejadian sebenarnya amat perlu agar tak salah bersikap. Jatuh pada dua titik ekstrem: terlalu husnuzhan, teramat su’uzhan. Keduanya tidak baik. Menutupi kemungkinan peluang lain dalam satu kejadian.
Riwayat kebohongan dan pembohongan karenanya mestilah digenggam dalam pemahaman kekuasaan. Jangan lengah dari orang-orang yang memanfaatkan kelengahan. Tidak menegasikan peluang kejadian jahat pendustaan. Entah karena ada andil dalang penelusup, inisiatif pihak yang dikecewakan dari pihak luar di tengah kita (seperti kasus al-Thusi dan Alqami), atau murni kelemahan kita mengantisipasi.
Dusta tidak semata untuk membenarkan diri. Dusta bisa sebagai alat menumbangkan kita. Lewat serangan dusta pihak lawan dalam wujud fitnah. Atau bisa juga dengan dusta orang-orang kepercayaan yang sebenarnya bersiap menumbangkan kita.
Yang kasihan justru ketika pihak yang dituduh berdusta tengah melakukan karena selamatkan kepentingan keluarga. Bukan obsesi pada kebesaran dunia. Ia terpaksa melakukan. Nah, ketika ia hadirkan dusta bagi lawan, padahal sebenarnya rentan ketika terungkap itu merusak reputasi kita, di situlah fitnah menjadi berkelindan. Itu risiko pelaku yang memilih satu putusan di balik dustanya. Dalam kebingungan awam dan khalayak, ia terima cibiran semua pihak. Memandang dia aktor lawan yang disiapkan suatu momen merusak pihak kita. Padahal, bisa saja itu tidak demikian. Tampaknya, begitulah risiko membuat niat baik dengan cara tak beradab. Dan agama ini menolak jalur juang demikian.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net