Suaramuslim.net – “Pengembaraan (untuk menuntut ilmu) merupakan ciri utama kehidupan pengetahuan di pesantren,” demikian catatan Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya yang berjudul “Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai” (1982: 24)
Bila melihat kiai-kiai yang ada di nusantara, sebelum menjadi tersohor, rata-rata waktu mudanya mereka melakukan pengembaraan intelektual untuk mencari ilmu sebagai wujud semangatnya dalam menuntut ilmu. Sosok Kyai Wahab Hasbullah, Abdullah Mubarak, Sahibul Wafa Tigul Arifin, Hasyim Asy’ari, Munawir Krapyak dan Masyum adalah sederet contoh para kiai yang waktu mudanya adalah santri. Santri yang begitu antusias menuntut ilmu dengan melakukan pengembaraan dalam negeri hingga manca negara.
Keantusiasan menuntut ilmu para santri, bukan muncul dari ruang hampa. Ada banyak dalil-dalil normatif yang melatarinya. Misalnya, orang berilmu itu akan diangkat derajatnya (QS. Al-Mujadilah [58]: 11); juga sabda nabi, “Barang siapa berjalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR Muslim). Yang semuanya tertanam dengan baik dalam lingkungan pesantren.
Untuk menguraikan betapa semangatnya santri dalam menuntut ilmu, pengalaman Kiai Wahab Hasbullah (lahir 1888) bisa dilihat di sini. Dalam catatan sejarah, beliau adalah santri yang sangat semangat dalam menuntut ilmu. Pendidikan tingkat dasarnya di tempuh selama 13 tahun di pesantren kepunyaan bapaknya (Hasbullah), Tambak Beras, Jombang.
Kehausannya menuntut ilmu tak sampai di situ. Selepas dari Tambak Beras, beliau kemudian nyantri ke Pesantren Pelangitan, Tuban, selama satu tahun. Dilanjut kemudian ke Pesantren Mojosari di Nganjuk selama 4 tahun. Selanjutnya ke Pesantren Cepaka (6 bulan), Tawangsari (1 tahun), Kademangan Bangkalan kepada Kiai Khalil (3 tahun), kemudian dilanjut ke Branggahan, Kediri (1 tahun) lalu ke Tebu Ireng yang diasuh KH Hasyim Asy’ari selama empat tahun.
Sebelum terjun langsung memimpin pesantren, beliau disarankan oleh KH Hasyim Asy’ari untuk nyantri ke Makkah. Di situ beliau belajar selama empat tahun. Ada enam ulama terkenal yang menjadi guru beliau di tempat kelahiran nabi itu. Antara lain Kiai Mahfud at Tarmisyi (kelahiran Termas, Pacitan), Kiai Mukhtarom (kelahiran Banyumas), Syaikh Ahmad Khatib (kelahiran Minangkabau), Kiai Bakir (kelahiran Yogyakarta), Kiai Asy’ari (kelahiran Bawean) dan Syaikh Abdul Hamid (kelahiran Kudus).
Setelah pengembaraanya menuntut ilmu, menjelang perang dunia ke-2 beliau kembali ke dalam negeri. Luar biasa, sebagai santri yang sudah melanglang buana di dunia keilmuan, peran dan kiprah beliau di masyarakat mulai teruji. Bersama KH Mas Mansur (tokoh Islam modernis), beliau mendirikan madrasah dan kursus perdebatan bernama “Taswirul Afkar”. Setelah beberapa tahun beliau pulang ke kampung halaman menggantikan posisi ayahnya sebagai pengasuh pesantren Tambak Beras.
Salah satu kiprah beliau dalam organisasi adalah termasuk menjadi pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama yang dipimpin oleh KH Hasyim Asy’ari pada 1926-1947. Kemudian dilanjutkan oleh beliau hingga wafat pada Desember 1971.
Dalam skala nasional, kehadiran ormas NU ini yang dimotori oleh kiai dan santri mempunyai andil besar bagi bangsa dan negera. Resolusi Jihad yang membakar semangat perlawanan atas penjajah di Surabaya, diprakarsai oleh KH Hasyim Asy’ari, lahir dari rahim pesantren yang notabene adalah santri dan kiai. Bahkan Wahid Hasyim (anak KH Hasyim Asy’ari) adalah seorang santri yang semangat mencari ilmunya begitu tinggi yang kemudian mampu berkiprah untuk kepentingan bangsa dan negara. Beliau menjadi anggota BPUPKI dan PPKI sebelum kemerdekaan bahkan pernah menjadi Menteri Agama pasca kemerdekaan RI.
Semua ini menunjukkan bahwa santri adalah orang yang semangat dan antusias dalam menuntut ilmu. Bila perlu, mereka mengembara ke berbagai penjuru, untuk menggapainya. Selepas itu, mereka juga berpartisipasi dan berkontribusi bagi agama, bangsa dan negara.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono