Suaramuslim.net – Manusia lahir ke dunia dengan dua telinga dan satu mulut. Artinya manusia banyak mendengar. Saat mendengar butuh lebih banyak diam. Tidak heran orang yang diam dianggap lebih dalam. Bisa juga orang yang diam juga mengerti lebih. Efek dari diam untuk mengamati atau mempelajari sesuatu.
Rata-rata manusia butuh waktu paling lama dua tahun dari sejak ia lahir agar bisa bicara. Namun butuh waktu puluhan tahun untuk belajar diam dan menjaga lisannya. Bisa dikatakan diam itu lebih sulit.
Allah subhanahu wa ta’ala yang berada di atas langit mengajari kepada hamba-Nya, ”Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali menyuruh (orang) bersedekah, mengajak berbuat kebaikan dan mengadakan perdamaian di antara manusia.” (QS An-Nisa: 114)
Kisah menarik tentang diam dalam menyikapi sesuatu daripada sesuatu tersebut lebih besar permasalahannya. Kisah tentang anak Yakub. Setelah anak-anak Nabi Yakub membuang Yusuf ke dalam sumur, mereka pulang dan menghadap kepada ayah mereka. Mulailah bermacam alasan diungkapkan dan kebohongan disampaikan. Yakub tau apa yang sebenarnya terjadi, tapi beliau lebih memilih diam dan berpaling dari mereka. Dan dia (Yakub) berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata, “Aduhai dukacitaku terhadap Yusuf.” (QS Yusuf: 84).
Andaikata Yakub berbicara maka anak-anak tersebut akan berbuat lebih nekat. Mereka akan kembali lagi ke sumur dan membunuh Yusuf. Putih mata bisa berbuat untuk memutihkan tulang.
Kisah yang lain juga tentang Yusuf. Ketika Bunyamin ditahan karena kedapatan membawa piala milik kerajaan lalu beliau mendengar kebohongan-kebohongan yang disampaikan oleh saudara-saudaranya, beliau tidak langsung menegur mereka. Yusuf tahu persis bahwa semua yang mereka katakan itu bohong tapi Yusuf lebih memilih diam. “Maka Yusuf menyembunyikan (kejengkelan) dalam hatinya dan tidak ditampakkannya kepada mereka.” (QS Yusuf: 77)
Terkadang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, tapi memilih diam ada manfaatnya. Pertama, masalah tidak semakin besar. Kedua, masalah cepat berlalu disebabkan efek lupa atau jenuh. Ketiga, tidak menambah musuh baru. Keempat, ketidaksukaan kita tidak nampak. Kelima, bahwa kita punya musuh tidak kelihatan oleh pihak ketiga.
Islam memberi batasan kapan saat diam dan kapan saat bicara. Jika dirasa memberi kerugiaan, diam. Jika dirasa memberi kemanfaatan, bicara. Itu batasan normatif. Namun selebihnya, dengan kelurusan hati bisa menilai untuk diam dan bicara. Seringkali diam adalah pilihan terbaik.
Diam dengan maksud untuk menjaga perasaan orang adalah keutamaan. Mulut yang celometan akan membuat hati yang tersambar bisa terluka. Luka hati bisa sembuh cepat atau lama. Tergantung siapa penerima dan bagaimana keadaannya. Salah orang seperti apa harga dirinya perlu dijaga.
Belajar dengan memaksimalkan dua telinga butuh waktu. Latihan sesering mungkin. Berat. Apalagi bagi orang yang bertipe sanguin. Kesukaan dia berbicara akan menjadi berat untuk mendengar dalam porsi lebih. Berbeda dengan tipe plegmatis. Dia bisa diam lebih banyak, meski dibutuhkan bicara.
Jadi berada di tengah-tengah. Tidak terlalu boros bicara. Tidak juga bakhil bicara. Sesuai dengan kadar keperluan. Terpenting, diam itu emas dan mengalirkan emas. Semoga dimudahkan.
Kontributor: Muslih Marju*
Editor: Oki Aryono
*Guru SD Inovatif Aisyiyah Kedungwaru, Tulungagung
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net