Suaramuslim.net – Ketegasan pemimpin ormas Islam dalam menyikapi persoalan umat Islam, bukan hanya bisa meminimalisir kekacauan internal, tetapi juga akan mencegah keterpurukan umat Islam dalam konflik yang berkepanjangan. Terlebih lagi, perjalanan dan langkah umat Islam, khususnya pada level bawah (grassroots), sangat ditentukan oleh keberadaan dan pandangan pemimpin. Di hari pemuda ini, dibutuhkan pemimpin ormas Islam yang dewasa dan cepat dalam merespon persoalan umat, sehingga terhindar dari kekacauan dan keterbelahan di masyarakat.
Kasus pembakaran bendera berlafadz kalimat tauhid bisa menjadi contoh bagaimana pentingnya sikap tegas pemimpin ormas Islam bagi para pemuda Islam. Ketegasan pemimpin ormas Islam demikian penting bagi para pemuda dengan mengajak masyarakat untuk tidak mengingkari fakta yang terjadi, dan memepercayakan setiap persoalan dengan menggunakan jalur hukum.
Pembelaan Yang Salah Kaprah
Kasus pembakaran bendera berlafadz “Laa ilaah Illallah” yang dilakukan oknum Banser di hari Santri demikian mencuat, sehingga membuat umat Islam tersulut amarahnya. Tuntutan untuk meminta maaf kepada Banser, yang dianggap telah melecehkan kalimat tauhid, justru dibela oleh pemimpin ormas ini. Hal ini tentu saja kurang mendidik terhadap para pemuda Islam. Dengan adanya pembelaan yang membabi buta tanpa mempedulikan reaksi umat Islam yang membela agamanya dari upaya penistaan, maka semakin memperkeruh suasana. Hal ini tentu saja menanamkan memori yang buruk terhadap para pemuda Islam
Bahkan disinyalir bahwa pembelaan terhadap pembakar bendera ini adalah upaya untuk menutupi agenda tersembunyi. Alih-alih memproses secara hukum pelaku pembakaran bendera, para pembela pembakar bendera justru ingin mencari dan akan menghukum penyebar video itu. Hal ini justru membuat persoalan semakin rumit. Tidak hanya itu, pihak yang berkomentar untuk segera menindak pelaku pembakaran justru disalahkan, serta dianggap sebagai pihak yang memperpanjang persoalan dan membuat gaduh.
Realitas ini tidak lepas dari kekurangdewasaan pemimpin dalam membaca pikiran dan perasaan umat Islam, serta cenderung tidak mengedepankan sikap ksatria. Mengakui kesalahan dengan mendorong kepada pelakunya untuk meminta maaf justru akan meminimalisir ketegangan, dan di mata para pemuda penerus bangsa, hal ini sangat edukatif. Namun karena ditutupi perasaan gengsi yang tinggi dengan menutup mata terhadap fakta yang terjadi dan tidak berada di garda depan dalam membela kebenaran, maka akan semakin memperkeruh suasana. Dengan kata lain, pemimpin seperti ini, akan berbahaya jika ditiru oleh generasi calon penerus bangsa.
Ketegasan Pemimpin di Tengah Situasi Memanas
Di tengah suasana keterombang-ambingnya masyarakat, muncul pandangan salah satu ormas Islam yang tegas tapi bisa mendinginkan suasana. Pengakuan terhadap fakta, percaya kepada institusi resmi, dan berjiwa besar merupakan kata kunci dalam menyelesaikan persoalan pembakaran bendera ini. Bagi para pemuda, munculnya pernyataan ini akan mendidik mereka untuk menjadi pemuda yang tangguh dan ksatria dalam menyelesaikan persoalan bangsanya.
Sebagaimana diketahui bahwa pernyataan PP Muhammadiyah yang demikian tegas dan menyejukkan terkait dengan kasus pembakaran bendera. Menurut Haedar Nashir, bahwa perlu tiga sikap yang dewasa dalam menyikapi persoalan yang sedang menimpa umat Islam ini, yang saat ini bisa mengancam keterbelahan masyarakat.
Pertama, adanya kenyataan dan fakta yang tidak terbantahkan bahwa telah terjadi pembakaran bendera berlafadz kalimat tauhid. Realitas di lapangan bahwa telah terjadi pembakaran terhadap bendera bertuliskan “Laa Ilaaha Illa Allah”, Hal ini ini melahirkan reaksi keras dan luas di masyarakat sebagai bentuk pembelaan terhadap penistaan terhadap kalimat yang dimuliakan umat Islam. Pengingkaran terhadap fakta adanya pembakaran bendera yang berlafadz agung ini justru akan membuat suasana semakin gaduh. Hal ini semakin mendatangkan ketidakpastian.
Kedua, jika HTI dan organisasi lain yang dilarang, oleh pengadilan sesuai UU Ormas yang berlaku, telah memperoleh ketetapan hukum maka perlu kepastian institusi siapa yang harus melaksanakan eksekusinya. Termasuk terhadap simbol atau atribut organisasinya harus berdasarkan ketentuan yang berlaku. Tidak dibenarkan ada ormas atau institusi non-negara atau di luar aparat penegak hukum yang mengeksekusi, apalagi dengan caranya sendiri yang menimbulkan reaksi di ruang publik. Apa yang dilakukan oleh para pembakar bendera, yang berlafadz Laa ilaha Illallah, jelas sebagai tindakan main hakim sendiri. Seolah-olah negara dan penegak hukum tak lagi dipercaya kekuasaan dan kewenangannya.
Ketiga, meminta semua pihak harus berjiwa besar dan tidak mengembangkan pikiran atau sikap apologi dalam menghadapi dan menyelesaikan kasus pembakaran kasus bendera tersebut. Bersikap apologi semakin memperuncing persoalan dan menambah gap yang lebar di antara masyarakat yang sedang menghadapi konflik. Mengembangkan sikap apologi justru semakin menjauhkan upaya yang solutif atas persoalan yang sedang muncul.
Sudah saatnya ormas Islam memiliki pemimpin yang memiliki kedewasaan dan ketegasan dalam menghadapi persoalan, serta menjadikan kebenaran sebagai tolok ukur dan menyelesaikan persoalan dengan menggunakan jalur hukum. Hal ini akan mempercepat mengatasi persoalan serta mencegah keterbelahan masyarakat pada akar rumput, sehingga tercipta situasi yang kondusif dalam melihat dan menghadapi persoalan yang dihadapi masyarakat, khususnya umat Islam. Hal ini akan terekam dan menjadi memori yang gemilang di mata para pemuda, sehingga bisa mendidik dan mencetak mereka menjadi generasi yang dewasa dan matang dalam menghadapi persoalan serumit apapun.*
*Ditulis di Surabaya, 28 Oktober 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net