Suramadu Gratis, Akankah Madura Semakin Manis?

Suramadu Gratis, Akankah Madura Semakin Manis?

Suramadu Gratis, Akankah Semakin Manis
Jembatan Suramadu yang menjadi penghubung Surabaya dan Madura kini tak lagi masuk kategori jalan tol. (Foto: Jawapos)

Suaramuslim.net – Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menggratiskan tarif Jembatan Tol Surabaya-Madura (Suramadu) mulai Sabtu (27/10/2018). Fungsi jembatan itu saat ini berubah menjadi jalan umum dari semula jalan tol.

Soal Ekonomi Atau Politik?

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Trunojoyo Madura, Surochiem, S.Sos., M.Si dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Radio Network 93.8 fm melalui sambungan telepon hari ini (29/10) mengatakan, dulu dengan adanya jembatan Suramadu asumsinya akan bisa mengakselerasi pembangunan, mempercepat pembangunan di Madura, tapi hingga saat ini hal itu biasa saja dan tidak terlalu progresif. Namun dari sisi ekonomi masyarakat Madura tentu menyambut baik penggratisan tol Suramadu karena dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

“Semua orang saya kira sepakat, kebijakan menjadikan non tol Suramadu untuk mendorong perekonomian di Madura”, ujarnya.

Surochiem menilai pembebasan tarif jembatan Suramadu momentumnya bersamaan dengan waktu kampanye Pilpres 2019, sehingga sebagian publik menghubungkan dengan kepentingan elektoral yang notabene menguntungkan calon petahana.

“Sebuah teori politik menyebut, kalau incumbent sudah punya modal 30 persen, jika kemudian ada kaitannya dengan kebijakan bersifat populis maka bisa langsung ter-connect dengan elektabilitas pak Jokowi, jadi wajar jika berbagai pihak menduga hal ini semacam sodaqoh policy”, terangnya.

Melihat dari sudut pandang politik Surochiem menyebut, suara pemilih Madura sangat dinamis, unik, dan misterius. Pasalnya terdapat gap antara apa yang dipilih berbeda dengan yang dikehendaki masyarakat. Banyak kelompok yang bisa memainkan peran vote buyer sehingga dapat membuat paradoks suara arus bawah.

“Jadi jarang ada survei yang bisa cocok menggambarkan calon pilihan masyarakat Madura. Saat survei elektabilitas calon presiden tertentu tinggi namun saat pemilu sebaliknya jauh di bawahnya. Ada faktor non teknis di Madura yang membutuhkan ilmu khusus,” tuturnya.

Menurut Surochiem tidak mudah menyimpulkan hasil survei di masyarakat Madura. Ada budaya yang masih kuat yang membuat pilihan-pilihan kerap memacu mobilisasi lebih tinggi dari pada independensi sebuah lembaga survei. Bisa jadi sesuatu yang populis belum tentu menjadi gambaran pilihan masyarakat.

“Jadi efek penggratisan Suramadu terhadap calon presiden Jokowi juga masih misteri, karena variabelnya sangat kompleks. Jika pada masyarakat kelas menengah Madura pasti kebijakan pembebasan tarif tol itu akan memberikan dampak. Persoalannya, apakah itu signifikan, itu masih sulit diprediksi,” ungkapnya.

Analisa Surochiem mengatakan, sebuah kebijakan pasti ada relasi kepentingan. Bisa saja petahana mengelak bahwa kebijakan ini bersifat politis, akan tetapi jika dianalisa melalui pendekatan politik jauh lebih komperhensif. Karena momentumnya mendekati pilpres, maka secara kasat mata sebagian berpendapat upaya itu untuk memberi harapan kepada masyarakat Madura dan ujung-ujungnya mempertimbangkan persoalan elektabilitas.

Rendahnya Realisasi Investasi di Madura

Senada dengan hal itu, dosen perencanaan pembangunan Universitas Trunojoyo Madura Tripitono Adi Prabowo dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Radio Network 93.8 fm melalui sambungan telpon hari ini (29/10) menyatakan secara statistik sembilan tahun setelah peresmian Suramadu belum mengalami perubahan yang diharapkan di antaranya, kemiskinan, Indeks Pembangunan Manusia, dan tingkat pengangguran terbuka.

“Indikator makro menyebutkan kemiskinan di kabupaten Sumenep sebesar 19,62 persen yang merupakan rangking ke 35 dari 38 kota/kab di seluruh Jawa Timur, bahkan Sampang menempati rangking terakhir dengan 23.52 persen kemiskinan,” ceritanya.

Tripitono menjelaskan, ada variabel lain yang membuat fugsi jembatan Suramadu selama sembilan tahun belum memberikan dampak secara signifikan. Pertama, kurangnya sinergitas perencanaan pada empat kabupaten di Madura. Kedua, kurangnya daya dukung terhadap daya tarik investasi ke Madura.

“Analogi sebuah jembatan Suramadu seperti kita membuat saluran air untuk sebuah ladang gersang, akses selokan menuju ladang sudah terbangun, namun tidak mencukupi salurannya akibat daya dukung yang lain kurang bagus,” kiasnya.

Tripitono menyebut, beberapa tahun terakhir beberapa pengamat menyatakan tarif angkutan golongan satu Rp 15.000 masih menyebabkan biaya yang mahal bagi para investor. Untuk membangun sebuah gudang industri di Madura masih terbilang mahal dibandingkan di daerah Gresik, Mojokerto dan daerah lain.

“Harapan ini muncul saat Presiden Jokowi menggratiskan jembatan Suramadu, dengan ini nantinya dapat bersaing antara lokasi gudang yang akan dibangun di Madura dengan gudang yang ada di Gresik,” ucapnya.

SDM Madura Perlu Ditingkatkan

Tripitono melihat selama lima tahun terakhir ada situasi di Madura yang menjadi pembeda dengan daerah lain di Jawa Timur, yaitu masalah keramahan berinvestasi. Peraturan daerah membuat para investor sulit berinvestasi di Madura, adanya kultur yang masih kurang pro investasi, tentang keamanan, serta faktor SDM Madura yang 60 persen masih lulusan SD.

“Ketika industri mau ke Madura maka berbagai persoalan harus segera teratasi, agar bisa mengimbangi gratisnya jembatan Suramadu”, pungkas Tri.

Reporter: Dani Rohmati
Editor: Muhammad Nashir

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment