Suaramuslim.net – Teman termasuk bagian dari agama kita. Cerminan yang nyata. Baik buruk bisa dilihat kepada siapa berteman. Bahkan bersahabat.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam bersabda, ”Seseorang itu mengikuti din (agama; tabiat; akhlaq) kawan dekatnya. Oleh karena itu, hendaknya seseorang di antara kalian memperhatikan siapa yang dia jadikan kawan dekat.”
Hadits di atas menjadi pengingat. Teman itu jika tidak kuat akan membawa warna dari seseorang beragama. Ujung-ujungnya beragama begitu tergantung kepada siapa temannya.
Bersyukur jika mayoritas teman orang baik. Yang mengajak kepada lebih dekat kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Memanusiakan manusia. Hal ini oleh pencipta alam semesta ini telah digambarkan dalam sebuah ayat, ”Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di pagi dan di senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini. Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS Al-Kahfi: 28)
Ada larangan tersendiri untuk menjauhi teman yang baik. Sumber kecelakaan dan ketersesatan bisa nyata. Tidak ada yang mengingatkan jika keliru. Hati juga merindukan akan nasehat. Meski kadang dada masih terasa sempit.
Maka duduk atau nongkrong dengan teman yang baik bisa menjadi penawar hati. Hati yang gundah, bimbang dan ragu bisa terobati dengan bercengkerama dan ngobrol ngalor ngidul di warung kopi atau angkringan. Tempat orang baik tidak harus di masjid atau majelis taklim saja. seorang ulama bernama Ibrâhim al-Khawwâsh berkata, “Penawar hati itu ada lima: membaca Al Quran dengan tadabbur (perenungan), kosongnya perut (dengan puasa-pen), qiyâmul lail (shalat malam), berdoa di waktu sahar (waktu akhir malam sebelum Shubuh), dan duduk bersama orang-orang shalih.”
Tidak tanggung-tanggung manusia paling baik sedunia menggambarkan teman yang baik dalam haditsnya sebagai berikut, “Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pandai besi). Adapun penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli darinya, atau engkau mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk.”
Begitu juga dengan berteman dengan orang buruk. Seperti berkawan dengan pandai besi. Rasulullah menggambarkan pandai besi bukan bermaksud diskriminasi kepada profesi ini. Namun sebagai gambaran dari bau besi terbakar dan potensi pakaian yang terkena loncatan api.
Berpikir ulang berteman dengan orang bertabiat jelek, Allah subhanahu wa ta’ala tegaskan di ayat, ”Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya (yakni: sangat menyesal), seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul.” Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si Fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Quran ketika Al Quran itu telah datang kepadaku. Dan adalah syaitan itu tidak mau menolong manusia. (QS Al-Furqan: 27-29).
Siapakah teman baik dan teman buruk?
Baik dan buruk yang dimaksud penulis bukan dari sisi “daging.” Kecondongan untuk buruk akhlak menjadi pertimbangan mengapa orang tersebut tidak pantas diajak berteman.
Akhlak yang buruk mempengaruhi kondisi agama seseorang. Mengingat akhlak begitu luas. Tidak saja kepada sesama manusia saja. tetapi ada hubungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tumbuhan, hewan dan alam semesta.
Maka meski orang itu rajin shalat tetapi membalak hutan, maka tidak patut dijadikan teman. Karena kesalihan tidak sekedar ritual semata. Surga semasa di dunia ketika tercipta harmonisasi khalik dengan makhluk serta sesama makhluk.
Kontributor: Muslih Marju
Editor: Oki Aryono
*Guru SD Inovatif Aisyiyah Kedungwaru