Tiga Mengulang Takdir

Tiga Mengulang Takdir

Tiga Mengulang Takdir
(Foto: mediaumat.news)

Suaramuslim.net – Pada awalnya Kakbah berhasil dikuasai kelompok Sa’ud – Muhammad Abd Wahab. Memukul mundur Syarif Hussein dan sekaligus mengakhiri permandatan Utsmani berabad-abad.

Kendati secara formal bekerja untuk Khalifah di Istanbul, Syarif bermain mata dengan Inggris. Bujukan diplomat Inggris beratribut “muslim”, Thomas Edward Lawrence (Lawrance of Arabia), memainkan peran penting di samping keretakan hati antar-Muslim kala itu yang memperparah keadaan. Syarif dijanjikan Lawrance kekuasaan asalkan melakukan tindakan yang sejatinya merongrong Utsmani (termasuk penahbisan diri sebagai khalifah setelah Utsmani ditumbangkan Inggris bersama Gerakan Turki Muda). Tentu saja, di mata Syarif, ia lakukan hal tepat; serupa yang dipikirkan Sa’ud kala “memberontak” pada Khilafah.

Seabad kemudian. Politik dan ekonomi dalam percaturan kolonialisme tadi berulang. Arab Saudi, yang diasas Sa’ud, dimusuhi pendukung Syarif dan khilafah. Cap “wahabi” selalu dikesankan soal perbedaan pemikiran. Padahal, di balik itu ada soal kesumat lama “di sana”.

Pendukung Syarif pun mencurigai kalangan pro-khilafah. Hal ini bisa ditarik sebagai bentuk kewaspadaan dominasi yang menegasikan kelompok tertentu yang kadung disebut mayoritas. Bisa dimengerti dendam sejarah atas Khalifah Utsmani yang dianggap kurang perhatian dibawa-bawa dengan topik baru: Pancasila dan kemajemukan bangsa!

Pendukung khilafah pun kadang membawa romantika dua dekade awal abad 20 sebagai pintu masuk mengkritik kelompok pendukung Saudi. Sebaliknya, pendukung Saudi memandang kalangan pro-khilafah sebagai ancaman seakan Kakbah tak boleh diambil lagi (meski institusi khalifah saat ini tak ada lagi). Dan kalangan pro-khilafah pun diam-diam menyadari pragmatisme ala Syarif berabad lampau berulang pada para pendukungnya (walau tak mengenalinya).

Barangkali ini bisa jadi simplifikasi persoalan mengapa Salafy (khususnya faksi kerajaan Saudi), NU, dan HT sukar dipersatukan. Sebuah saja imbas geopolitik muslimin abad 19 akhir. Dan ini, sedihnya, diam-diam direplikasi oleh para pendukung ketiganya. Atau sekurangnya ada satu komponen yang menguatkan lagi sentimen dendam lama tersebut. Tak aneh bila ada berita pengusiran dan pelarangan pengajian kelompok lain.

Uniknya, pendukung Syarif dari garis nasab, yakni garis habaib, sebenarnya sudah relatif memaafkan dan tak ambil pusing. Itu sebabnya kelompok semisal FPI vokal mengecam pendukung Syarif era “perebutan” Kakbah tatkala melarang pengajian ini dan itu. Jadi, yang tersisa adalah pendukung garis politik Syarif belaka, atas dasar pembelaan identitas dan sentimen melawan perampas (Saud) ataupun pihak yang mengabaikan (HT). Mereka ini yang polahnya tercermin dalam pelarangan ini dan itu pada gelaran kajian yang dibuat pendukung Saud dan isu khilafah.*

*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment