Suaramuslim.net – Pasca 120 hari dalam kandungan, sebenarnya rezeki –termasuk jodoh di dalamnya—manusia sudah dicatat oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui perantara malaikat (HR Bukhari dan Muslim). Karenanya, jodoh tak bakal tertukar. Masalahnya, manusia tidak tahu dengan pasti siapa jodohnya. Maka, ikhtiar dan usaha untuk memantaskan diri dalam mencari jodoh menjadi kuncinya.
Alkisah, ada seseorang dari kalangan tābi’īn bernama Abdullah bin Abi Wadā’ah. Secara status sosial, ia termasuk pada kategori miskin. Meski begitu, dia adalah orang yang alim, salih dan baik hati. Gurunya adalah seorang ulama dari kalangan tābi’īn kenamaan yang bernama Sa’id bin Musayyab (15-94 H). Dalam kesehariannya, ia hampir tak pernah absen dari majelis gurunya itu.
Suatu saat, Abdullah bin Abi Wada’ah absen beberapa hari dari majelis taklim. Rupanya, Sa’id bin Musayyab penasaran dengan ketidakhadirannya. Kemudian, setelah itu muncul kembali menemui Sa’id. Terjadilah dialog hangat di antara mereka berdua. Abdullah pun menceritakan bahwa dirinya absen dari kegiatan majelis taklim karena sedang disibukkan dengan pemakaman isterinya yang baru meninggal. Sa’id pun menyayangkan kenapa murid kesayangannya itu tidak memberitahunya. Karena Sa’id pun sebenarnya jika mengetahuinya akan datang dan turut berbelasungkawa.
Dalam obrolan itu, sang guru menawarkan jodoh kepadanya. Namun, sebelum mengiyakan atau menolak tawaran itu, Abdullah bin Abi Wada’ah berterus terang kepada gurunya, “Tidak wahai guruku! Semoga Allah selalu merahmatimu. Apalah artinya saya yang tidak memiliki kekayaan dunia. Siapa juga yang bakal menikahkan anaknya denganku. Sementara itu, aku hanya punya uang 3 dirham.”
“Saya yang akan menikahkanmu,” jawab sang guru dengan mantap. Mendengar jawaban itu, Abdullah kaget sekaligus berspekulasi. Barangkali Sa’id mau meminjaminya biaya untuk nikah atau mencarikan jodoh yang sama miskin dengannya sehingga mau dinikahkan dengannya. Betapa kagetnya Abdullah, saat dirinya berada di masjid Nabawi sedang bertasbih, tiba-tiba di hadapan jemaah dan hadirin sang guru memegang tangannya kemudian mengucapkan basmallah, pujian kepada Allah lalu shalawat atas nabi kemudian berkata, “Saksikanlah wahai hadirin bahwa Sa’id bin Musayyab menikahkan puterinya dengan Abdullah bin Abi Wada’ah berdasarkan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya dengan mahar 3 dirham.” Kemudian pernikahan itu ditutup dengan shalawat dan doa untuk kebaikan sang murid dan puterinya.
Kekagetan Abdullah sangat beralasan. Sebab, Sa’id adalah ulama besar yang sangat salih dan kaya raya. Putrinya pun terkenal cantik, salihah dan berilmu luas. Sebelumnya, sekelas khalifah Abdullah bin Marwan saja ditolak oleh Sa’id ketika meminta puterinya untuk dinikahkan dengan anaknya. Sampai akhirnya ia diintimidasi dan disiksa fisiknya, namun tak dapat menggoyahkan keputusannya.
Ketika Sa’id bin Musayyab ditanya orang mengenai alasan menikahkan puterinya dengan Abdullah bin Abi Wada’ah, dengan tenang beliau menjawab, “Aku menikahkan puteriku bukan dengan orang yang ku kenal kaya atau miskinnya. Tapi aku menikahkan puteriku dengan pahlawan kehidupan yang memiliki keutamaan dan pemahaman agama yang bagus. Sejak awal aku yakin, keutamaannya dan keutamaan puteriku bisa bertemu dan karakter keduanya bisa harmoni.” (Hāny al-Hāj, Alfu Qishshah wa Qishshah min Qashash al-Shālihīn, 426-430)
Tidak berlebihan memang yang dikatakan Sa’id mengenai sosok mantunya itu. Mungkin secara strata sosial dan harta ia adalah kelas bawah, namun dari sisi kesalihan dan ilmu, dirinya sungguh mumpuni.
Apa yang dialami Abdullah bin Abi Wada’ah mengandung pelajaran berarti bagi orang yang hendak mencari jodoh. Yakinlah bahwa jodoh sudah ditentukan dan pasti tak akan tertukar. Bagaimanapun kondisi yang dialami, tugas manusia hanya berikhtiar dan memantaskan diri sesudah itu, tawakal kepada Allah. Bisa jadi jodoh itu ditemukan saat proses pencarian, atau seperti Abdullah yang datang tanpa disangka-sangka atau kalau masih belum bertemu juga, barangkali Allah telah menyiapkan jodoh yang terbaik buat dirinya. Kuncinya, tetap berhusnudzan kepada Allah Ta’ala.
Kontributor: Mahmud Budi Setiawan
Editor: Oki Aryono