Tradisi Berbagi di Tengah Kekeringan Air

Tradisi Berbagi di Tengah Kekeringan Air

Tradisi Berbagi di Tengah Kekeringan Air

Suaramuslim.net – Kemarau panjang berdampak keringnya berbagai lahan kehidupan. Hujan yang terhenti hampir delapan bulan benar-benar membuat sawah, ladang, tegalan kering sehingga tak menghasilkan. Tiadanya hujan juga berdampak keringnya sebagian besar sumur milik warga. Namun yang menarik, kekeringan dan kesulitan air yang terjadi di Desa Ngoro Gunung, Kecamatan Bubulan Bojonegoro ini, justru menggugah solidaritas sosial sebagian warga desa. Warga desa yang sumurnya tetap mengalir rela berbagi kepada mereka yang sumurnya mengalami kekeringan. Mereka berbagi air dengan mempersilakan orang lain mengambilnya secara gratis. Dengan tangan terbuka dan senang hati, warga yang memiliki kelebihan air itu membuka ruang bagi orang lain untuk memanfaatkan air miliknya.

Belajar Berbagi di Tengah Masyarakat Hutan

Sebagian warga masyarakat yang memiliki sumber air mempersilakan orang lain untuk mengambil air di sumurnya guna memenuhi kebutuhan secukupnya. Ada seorang ibu yang usianya tidak muda lagi, menawarkan kepada orang yang membutuhkan air untuk singgah ke rumahnya. Bahkan sebagian warga yang membutuhkan air dipersilakan untuk pergi ke rumahnya untuk mandi di rumahnya.

Pengalaman penulis yang mengadakan penelitian budaya bersama 26 mahasiswa, menarik untuk disampaikan. Kedatangan kami rupanya dilihat oleh sebagian warga. Mereka melihat mahasiswa sibuk hilir mudik mengambil air di sumur-sumur yang lumayan jauh dari tempat menginapnya. Solidaritas warga itu terlihat ketika para mahasiswa ditawari untuk mengambil air dan mandi di sumur milik mereka. Mereka mempersilakan untuk mengambil air sendiri, dan bisa mandi di tempat yang telah tersedia. Mereka menawari air demikian ikhlas, tanpa basa-basi.

Kemarau panjang benar-benar menguras energi warga yang mengalami kekeringan air sumurnya. Mereka mengambil air pagi, siang, dan sore hari untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti mandi, mencuci pakaian, dan lain-lain. Meskipun hujan sempat mengguyur desa beberapa kali, namun belum mengoptimalkan sumur-sumur warga. Hampir tiap rumah memiliki sumur tetapi sebagian besar mengalami kekeringan.

Tradisi berbagi bukan hanya soal air, tetapi juga apa yang mereka miliki. Hal ini terlihat ketika kami berada di desa itu juga dikirimi buah mangga secara bergelombang. Realitasnya, memang hampir tiap rumah memiliki pohon mangga. Mereka ikhlas berbagi mangga kepada orang, termasuk mahasiswa kami, yang kebetulan bertamu untuk melakukan interview di rumah mereka. Bahkan ada warga yang mengirim buah mangga ke tempat menginap mahasiswa secara bergelombang. Seorang warga datang dengan membawa satu tas kresek berisi puluhan buah mangga beserta pisaunya. Tidak lama kemudian seorang ibu setengah baya juga datang dengan membawa satu tas kresek penuh berisi mangga.

Pentingnya Memelihara Solidaritas Sosial

Realitas berbagi secara sukarela, sebagaimana yang terjadi di Desa Ngoro Gunung, menunjukkan solidaritas sosial yang masih terpelihara. Hal ini layak untuk diapresiasi di tengah kehidupan yang serba meminta balasan materi atau uang. Keramahan penduduk untuk berbagi air dan buah mangga merupakan tradisi yang perlu dilestarikan.

Desa ini berada di tengah hutan dan dekade yang lalu, penduduknya rata-rata kurang mementingkan pentingnya pendidikan. Penduduk yang berusia di atas 40 tahun rata-rata lulusan sekolah tingkat dasar. Saat ini beberapa pemuda mulai menyenyam pendidikan tinggi di luar kota. Adanya pergeseran kesadaran orang tua untuk memprioritaskan pendidikan tinggi pada anaknya sudah mulai dirasakan manfaatnya. Hal ini seiring dengan sejumlah keterbatasan sumber daya alam yang terus mengalami penyusutan. Hutan dahulu menghasilkan kayu jati, dan penduduk menyandarkan hidupnya pada kayu jati. Namun saat ini kayu jati sudah langka seiring dengan penebangan secara massif yang dilakukan oleh warga tanpa tanggung jawab.

Keprihatinan juga semakin dirasakan secara jelas karena para pemuda sudah kurang tertarik untuk mengelola sawah dan ladang yang dimiliki oleh orang tuanya. Lahan sawah dan ladang yang ada di tengah hutan kurang dilirik oleh para pemuda. Mereka lebih memilih sebagai buruh pabrik atau melancong ke wilayah lain untuk mencari pekerjaan sebagai tenaga kasar. Bahkan sebagian warga memilih sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia, Hongkong, atau China. Mereka yang bekerja sebagai TKI di luar negeri ini memang terlihat kontribusi positifnya, khususnya ketika mereka mengirim uang hasil kerjanya untuk membangun rumah atau membeli tanah, sawah untuk investasi mereka di hari tua.

Mudah-mudahan dengan kesuksesan sebagian warga yang melancong dan sukses bekerja di luar kota atau di luar negeri tidak menghanguskan solidaritas sosial yang telah mengalir pada orang tua mereka. Solidaritas sosial itu, dalam bentuk berbagi kepada orang yang membutuhkan lain, semoga tidak tersingkir di tengah kehidupan mereka yang sudah mengalami perubahan.

*Ditulis di Surabaya, 11 Nopember 2018
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment