Suaramuslim.net – Tidak ada yang mengharap terlahir sebagai yatim. Apalagi ditambah piatu. Dan air mata kerinduan selalu terpancar jika bertanya kemana atau bagaimana orang tua di sana. Apakah kita tega membiarkan “air matanya” terus mengalir? Keyatiman seorang anak sudah menjadi air mata dalam hidupnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam begitu perhatian dengan anak yatim. Beliau selalu memberi harapan dan pelindung kepada mereka. Bersedia memposisikan sebagai bapak.
Anak yatim bukan berarti harus dimanja. Dipenuhi segala permintaan. Justru seperti ini membuat ke depan jadi sulit. Tidak bisa berkompetisi. Hanya mengandalkan bantuan.
Akan sedikit berbeda jika terlahir sebagai orang kaya. Anak yatim tersebut tidak terlalu terlunta-lunta. Jika miskin, maka hidup kemungkinan besar akan ditampung di panti asuhan. Mengarahkan menjadi mandiri. Baik mandiri secara mental maupun ekonomi. Baik secara sosial maupun agama. Mengubah anak yatim secara mental. Membangkitkan jiwa mereka. Tidak meratapi nasib. Berbangga dengan ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala.
Cukupkah jika berurusan dengan mereka hanya memberi sedekah saja? Setelahnya kita pulang, tidur dan merasa puas sudah dianggap dermawan? Ini sudah klasik.
Rasulullah bersabda, “Sedekah itu dapat menghapus dosa sebagaimana air itu memadamkan api.” (HR At-Tirmidzi). Jika tujuan adalah dosa yang terhapus, cukup dengan taubat. Apalagi sedekah hanya mampu menghapus dosa kecil, sedangkan dosa besar dengan taubat nasuha.
Sedekah terbaik yang digambarkan dalam Al Quran sedikit berbeda. Ada tambahan dengan sebutan pinjaman terbaik. Terbaik tidak berhenti dari apa yang dipunya. Tapi apa yang dikhawatirkan juga diberikan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pahalanya) kepada mereka dan bagi mereka pahala yang banyak.” (QS Al-Hadid: 18).
Uang yang kita berikan hanya mampu menggemukkan badan. Otak apakah jalan jika tidak diarahkan dengan baik?
Jika mau dimasukkan kepada “pinjaman yang baik” kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tidak berhenti menyodorkan uang dan selesai. Coba dipikirkan kembali. Bagaimana memprogram mereka menjadi generasi unggulan. Baik secara emosional, intelektual dan spiritualnya.
Anak Yatim Tersiakan, Arsy Gemetar
Dibalik perintah memuliakan anak yatim, masih ada beberapa orang yang tega menyia-nyiakan anak yatim. Pemelihara atau orang tua asuh menjadi sosok menakutkan bagi si yatim. Sorot mata selalu tajam. Dan kesalahan apapun dihadiahi dengan pukulan.
Setinggi apapun derajat orang yang menghardik anak yatim, dianggap manusia yang mendustakan agama.
“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak memberi makan orang miskin, maka celakalah bagi orang-orang yang salih yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan menolong dengan barang berguna.” (QS Al-Ma’un ayat 1-7).
Jika terluka dan menangis, maka terguncang arasy seakan-akan sebuah kejadian besar telah menimpa bumi. Anak yatim menangis, arasy berguncang. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam hadits qudsi, “Demi keagungan-Ku, siapa saja yang menghiburnya dan menghentikan tangisannya, Aku pastikan baginya surga.”
Singgasana Allah subhanahu wa ta’ala sampai berguncang, bukan perkara sepele penyebabnya. Menghardik anak yatim dan tangisan mereka mengundang kemurkaan Allah subhanahu wa ta’ala. Dan penguasa alam semesta ini tidak akan tinggal diam.
Kehidupan orang yang menyia-nyiakan anak yatim tidak pernah tenang. Banyak goncangan dan keburukan yang diterima. Sebaliknya, yang mampu membuat anak yatim “tersenyum”, mereka yang mendapat kemuliaan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Kehidupan berlimpah materi dan non materi, diliputi keberkahan tiada henti.