Suaramuslim.net – Bertepatan Hari Guru Nasional yang diperingati tiap 25 November, izinkan melalui situs ini mengulas pemikiran Prof Dr H. Muhaimin MA. Di rak buku saya, terdapat satu buku terakhir karangan almarhum berjudul, “Model Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran dalam Pendidikan Islam Kontemporer” (Malang: UIN Maliki Press, 2016).
Almarhum di dalam buku terakhirnya memuat nasihat bagi guru PAI baik yang mengajar di madrasah maupun sekolah negeri. Misi utama pendidikan adalah Liutammima makarim al-akhlaq yakni memperbaiki dan menyempurnakan akhlak manusia. Memperbaiki akhlak bisa digapai dengan mengintegrasikan ajaran agama dengan bidang pengetahuan dan keterampilan, yang hasilnya diharapkan dapat mewujudkan manusia cerdas, inovatif dan terampil tetapi juga baik perilakunya menurut pandangan agama (Muhaimin, 2016, hal xv).
Pendidikan agama menurut Prof Muhaimin bukan tugasnya guru agama saja, tetapi merupakan tugas bersama antara kepala sekolah, guru agama, guru mapel umum, seluruh aparat sekolah, orang tua murid dan masyarakat sekitar (Muhaimin, hal 104). Tak hanya itu, almarhum memberi nasihat berharga, seorang guru PAI ketika datang ke madrasah, sedikitnya harus memiliki 3 bekal, yaitu:
Pertama, selalu siap dengan materi yang diajarkan. Kata Prof Muhaimin, “Guru yang baik tak kalah rajin belajarnya ketimbang peserta didik”.
Kedua, Keterampilan mengimplementasikan metode pembelajaran yang efektif dan menyenangkan. Bertolak dari prinsip ini, dikenal adanya joyful learning, pembelajaran menyenangkan, tetapi bukan berarti santai banget. Sejalan dengan konsep joyful learning, maka ruang kelas harus didesain senyaman mungkin. “Ruang kelas yang semerawut dan cat temboknya kusam akan mempengaruhi pikiran dan hati peserta didik.” Begitulah nasehatnya.
Ketiga, kesiapan mental berupa cinta kepada anak-anak. Seorang guru yang baik ketika masuk ruang kelas mesti dengan hati. Dengan energi dan getaran cinta kepada anak-anak. Karena itulah almarhum berkata: “Mengajar tanpa hati akan terasa hambar, anak anak pun tidak akan mendengarkan sepenuh hati”. (Muhaimin, hal 106-107).
Saat menjadi narasumber dalam diklat maupun bimtek K-13, beliau selalu memberikan nasihat dan hal-hal baru kepada para guru yang menjadi peserta diklat. “Hendaknya para guru pendidikan agama di madrasah atau sekolah tidak perlu takut melakukan perubahan mindset agar PAI kedepan setara bahkan diminati daripada ilmu-ilmu lain“.
Sebelum menutup artikel ini, ada satu hal yang tidak saya sepakati dari pemikiran Prof Muhaimin. Contohnya mengusulkan pengembangan PAI yang berwawasan inklusif. Selama ini, hal-hal berbau “inklusif” dipasarkan gerombolan liberal yang menyebar di lingkungan IAIN dan UIN. Sasaran tembaknya yaitu kalangan yang berusaha mengamalkan ajaran islam semaksimal mungkin sehingga dicap “radikal”, “fundamentalis” dan “garis keras”.
Dalam pembahasan PAI berwawasan inklusif, almarhum mengingatkan agar guru PAI waspada terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan yang bersifat negatif. Yang almarhum anggap negatif masih seputar stigma “radikal” tadi. Dengan gamblang di dalam bukunya, almarhum menulis, “Saat ini terdapat isu isu rekruitmen anggota gerakan “radikal” melalui Rohis atau anggota jemaah Islam di sekolah telah berjalan secara clandestine. Pola yang dilakukan melalui sistem mentoring tertutup dan juga melalui penculikan. Pembinaan terhadap mereka dengan cara brainwash, menanamkan fanatisme buta serta memberikan doktrin kelompok lain salah bahkan dikafirkan, dan hanya kelompoknya yang benar” (Muhaimin, hal 87-88).
Perlu diketahui pembaca setia Suaramuslimdotnet, Rohis bukanlah Jemaah Islam (JI) yang awal tahun 2000-an menjadi kambing hitam proyek terorisme di Republik Indonesia. Rohis yang tersebar di sekolah maupun kampus tidak melakukan mentoring tertutup apalagi penculikan seperti NII KW-19. Di dalam rohis tidak ada cuci otak. Istilah cuci otak hanya dikanal di dunia intelijen dan perkumpulan rahasia (secret society). Yang diajarkan ialah materi dasar-dasar keislaman. Buku-buku rujukannya bisa diperoleh dengan mudah. Buku Dr Yusuf Qardhawi, Dr Aid al-Qarni dan Dr Kuntowijoyo. Rohis tidak mengajarkan paham takfiri seperti Syiah. Wallahu’allam.