Suaramuslim.net – Berada di tengah konflik periodik yang bisa terjadi kapan pun tidak membuat Rasha Abu Safieh berputus asa. Di tengah blokade yang dilakukan Israel terhadap Gaza sejak 2007, Rasha melakukan inovasi dengan mendirikan start up bernama Gaza Gateway (G-Gateway) pada tahun 2012. Dengan pengangguran di Gaza yang mencapai 49%, sementara 79% lulusan IT di sana sulit mendapatkan pekerjaan di tengah isolasi, G Gateway menghubungkan mereka dengan luar, memberikan mereka pekerjaan secara remote.
“Kita mendirikan kewirausahaan sosial di tempat yang paling sulit di dunia,” katanya. “Semua sesuatu yang baru akan sulit pada awalnya, tetapi dampaknya akan hebat,” lanjutnya meyakinkan.
Tidak hanya keterampilan menggunakan teknologi, G Gateway juga meningkatkan soft skills lulusan IT di Gaza untuk memperoleh pendapatan melalui internet. World Bank pun mengucurkan 3 juta dolar AS untuk menjadikan G Gateway sebagai penghubung ekonomi digital di kawasan. Pemasukan tahun 2017 mencapai setengah juta dolar AS. Perusahaan teknologi asal Dubai, Teg pun bermitra dengan G Gateway.
Lebih dari 90% perempuan lulusan IT menganggur di Gaza. Rasha memberikan peluang bagi mereka untuk mendapatkan pemasukan. Bahkan para pekerja perempuan diijinkan untuk membawa anak mereka ke tempat kerja. Rasha tidak ingin mendiskriminasi perempuan. Dia ingin perempuan tetap mendapatkan pekerjaan setelah berkeluarga. Rasha sendiri adalah seorang ibu dengan lima orang anak yang masih di bawah 10 tahun.
Rasha ingin mengangkat martabat Gaza. “Jika kita tidak punya sumber pemasukan, kita tidak memiliki kehormatan,” ucapnya.
Baginya, Gaza harus mandiri. “Gaza is more than relief and donations,” tegasnya.
Rasha memang mampu membaca peluang di tengah kesulitan. “Gaza bukan tidak berkembang tetapi terisolasi. Gaza memiliki generasi muda yang berpendidikan dan tenaga kerja. Di sini ada tradisi kewirausahaan, orang-orangnya kosmopolitan, bahasanya bilingual, dan sangat terampil,” kata Marilyn Garson, rekan Rasha yang membantu menjalankan G Gateway.
Ini terbukti dengan layanan yang diberikan G Gateway kepada perusahaan lain. Selain pengembangan software pelatihan, pengembangan aplikasi, dan pengolahan data, G Gateway juga menyediakan jasa pengembangan konten termasuk penerjemahan dan proofreading. Layanan ini menunjukkan kualitas SDM G Gateway yang terampil.
Kini G Gateway telah menjangkau 3500 tenaga IT, mempekerjakan 360 orang, mengembangkan 19 kurikulum pelatihan dan melatih 620 tenaga terampil di bidang TI yang kompetitif.
Bagi Rasha, G Gateway dapat mencegah generasi muda terjebak pada kelompok dan ide-ide terorisme. Karena keputusasaan di tengah tidak adanya kesempatan membuat generasi muda terjebak pada eksploitasi kelompok teroris.
“Mereka (generasi muda Gaza) tidak dapat meraih mimpi mereka, ini sangat berbahaya,” katanya memperingatkan. Oleh karenanya G Gateway memberi harapan baru bagi mereka. “Ketika mereka dapat memperoleh pendapatan, mereka mulai percaya dengan kemampuannya dan percaya bahwa mereka memiliki masa depan,” ungkapnya dengan optimis.
Tantangan ke depan Rasha adalah kesinambungan. Di tengah terbatasnya infrastruktur listrik dan teknologi, G Gateway harus mampu menjaga keberlanjutannya. Konflik antara Israel dan Palestina yang bisa terjadi kapan pun mengancam keselamatan mereka. Tentunya tidak mudah. “Terkadang kenyataannya berbeda dengan perencanaan yang sudah dibuat,” katanya. Ditambah lagi aspek legal yang memang sulit didapatkan di tengah perang. Lembaga donor juga terkadang sulit mengucurkan dananya terkait isu keberlanjutan keuntungan. Meskipun begitu, Rasha tidak menyerah. “Kita sedang membangun kapasitas untuk bersaing dengan standar internasional,” jelasnya.
Karena kontribusinya, majalah Time edisi 28 Oktober 2018 mendaulatnya sebagai next generation leaders bersama dengan anak muda lainnya dari seluruh dunia. Cerita Rasha adalah cerita tentang perempuan luar biasa di daerah konflik Gaza. Mungkinkah itu terjadi di Indonesia?**
Penulis: Grienda Qomara*
*Penimat Politik Digital
**Opini yang terkandung dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial suaramuslim.net.