Penulis: Yudha Heryawan Asnawi
Suaramuslim.net – Beberapa hari ini ada satu kata yang seksi untuk dibicarakan, yaitu kata “reuni”. Sebenarnya kata tersebut sudah sering kita dengar dan gunakan dalam keseharian. Tapi bukan Indonesia nampaknya, kalau tak dipenuhi kontroversi, apalagi di tahun-tahun politik seperti saat ini.
Saya menikmati iklim demokrasi di negeri ini, meski tak jarang “empet, sebel, geli dan gatel” juga dengan tontonan demokrasi yang ada.
Ketika kata reuni muncul dalam suatu perhelatan, banyak pihak bersilang pendapat tentang kecocokan, kesahihan dan keilmiahan kata tersebut -jika diikutkan pada perhelatan- yang ditengarai sebagai sebuah perhelatan bernuansa politik.
Penyikapannya menjadi macam-macam, ada yang berpandangan bahwa reuni adalah ajang temu kangen teman-teman yang pernah satu sekolah atau diperluas pada teman sekantor bukan untuk pertemuan massal yang melibatkan jutaan orang di lapangan terbuka.
“Emang yang kemaren itu sekolahan, pake ada reunian segala?”
Begitu pertanyaaan itu muncul, mulai dari rakyat biasa, kelompok sosial dan para penggiat politik di level akar rumput.
Ada juga yang malu-malu atau gugup mendefinisikan reuni dengan pernyataan,
“Sudahlah.. Tak perlu ada reuni segala, kan semuanya sudah selesai”.
Ya! Pertanyaaan maupun pernyataan itu menjadi kontestasi atau diskursus sosial politik di negeri ini.
Karena itu ada baiknya kita memahami kata reuni itu sendiri. Kita bisa menelaah baik secara semantik maupun epistemologis.
Reuni adalah kata hasil adopsi dari bahasa Inggris, yaitu “reunion”, yang diartikan sebagai;
“A social gathering attended by members of a certain group of people who have not seen each other for some time”.
Kalau mengacu dari penjelasan di atas, maka reuni memang tidak melulu berhubungan dengan sekolah, tempat berlatih tempat menimba ilmu, tempat kerja dan institusi formal. Melainkan pada makna social gatheting dari orang-orang yang sebelumnya pernah berjumpa.
Sebagai “gathering” secara sosiologis dia bisa diartikan sebagai sebuah fenomena sosial, yang bisa didekatkan dengan “crowd” atau kerumunan masyarakat, dimana masing-masing yang hadir mempunyai motif yang beragam, atau sebagai group dengan kohesivitas tertentu.
Pembahasan tentang reuni juga dapat kita jumpai dalam studi-studi psikologi. Reuni secara psikologis di antaranya diartikan sebagai;
“An instance of two or more people coming together again after a period of separation”.
Dalam hal ini reuni dimaknai sebagai “kekangenan” rasa ingin ketemu yang begitu dalam karena ada hubungan emosional personal.
Biasanya ada sesuatu yang “had a tearful-nya”, ada romantisme-nya ada spiritual-nya. Reuni seperti ini dimaknai pula sebagai berkumpulnya kembali saudara, untuk saling mengenang dan mengembalikan kenangan menjadi nilai bersama.
Bahasan tentang reuni pun terdapat dalam kajian politik, sebagaimana pernah muncul ketika ada reunifikasi dua negara Jerman. Reuni didefinisikan sebagai;
“The act or process of being brought together again as a unified whole”.
Reuni dalam politik menyebutkan kata “process of beeing brought together”. Reuni adalah sebuah gerakan sistematik untuk menyatukan kembali hal-hal yang secara faktual, evidensi sosial dan kehendak politik yang berbeda.
Masih menyangkut bahasan tentang reuni, beberapa hari yang lalu, dalam sebuah diskusi di kalangan pebisnis dan teman-teman yang berlatar belakang ilmu ekonomi ada yang mencoba mengkaitkan reuni dengan pendekatan bisnis dan ekonomi. Kawan-kawan pebisnis melihat reuni sebagai sebuah pasar. Sedangkan para ekonom menggunakan reuni dalam analog aktivitas ekonomi, misal sebagai merger, re-akuisisi atau re-ownership, buy back, dsb.
Dari tuturan di atas, dapat dipahami bahwa reuni tidak lagi sesuatu yang sesederhana; yaitu bertemunya teman lama satu sekolah. Reuni adalah kompleksitas, yang bisa dilihat dari berbagai perspektif.
Riuh rendah memaknai positif akan sangat tergantung pada se-komprehensif apa seseorang pada pengetahuan tentang reuni itu sendiri. Yang sempit akan berbicara dari kesempitannya, yang luas akan memaknai dari keluasannya.
Yang jelas reuni memiliki nuansa sosiologis, psikologis dan tak ayal bisa juga berhimpitan dengan aspek teologis, politis, ekonomis, dan bisnis sebagai hal yang pragmatis.
Jakarta, Jagorawi 3 Desember 2018.
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net