TAIPEI (Suaramuslim.net) – Sekitar 300 mahasiswa asal Indonesia berusia di bawah 20 tahun diduga menjadi korban kerja paksa di Taiwan. Mereka diduga kuat diperdaya melalui program magang antar kampus yang bekerja sama dengan sejumlah perusahaan.
Berdasarkan hasil investigasi salah satu anggota parlemen Taiwan dari Partai Kuomintang (KMT), Ko Chih-en, ratusan mahasiswa Indonesia itu terdaftar kuliah di Universitas Hsing Wu di Distrik Linkou, Taipei.
Ratusan pelajar RI itu disebut masuk perguruan tinggi tersebut melalui pihak ketiga atau perantara. Menurut laporan China Times seperti dikutip surat kabar Taiwan News, Kamis (3/1/19), mereka menempuh kelas internasional khusus di bawah Departemen Manajemen Informasi sejak pertengahan Oktober 2018.
Ko menuturkan dalam sepekan para mahasiswa itu dikabarkan hanya belajar di kelas selama dua hari. Setelah itu mereka bekerja empat hari di pabrik selama 10 jam, dan mendapat jatah satu hari untuk libur.
Ratusan mahasiswa Indonesia itu kabarnya dipekerjakan di sebuah pabrik lensa kontak di Hsinchu. Mereka dikabarkan bekerja dari pukul 07.30 sampai 19.30 waktu setempat. Mereka harus berdiri selama 10 jam dan membungkus setidaknya 30 ribu bungkus lensa kontak, dengan waktu istirahat hanya dua jam.
Ko mengatakan pejabat universitas memberi peringatan jika ratusan mahasiswa tersebut menolak untuk bekerja, perusahaan tidak akan mau bekerja sama dan tidak akan membantu studi mereka.
Universitas diduga akan menerima subsidi dari Kementerian Pendidikan Taiwan (MOE) jika berhasil mempekerjakan para mahasiswanya ke pabrik-pabrik. Uang tersebut kemudian dipakai sekolah untuk membayar para calo sebagai imbalan telah merekrut para pelajar tersebut.
Rata-rata biaya yang dikeluarkan universitas untuk membayar calo adalah sekitar 200 dolar Taiwan atau 95 ribu rupiah per siswa.
Menanggapi hal ini, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi RI M. Nasir akan segera mengecek dugaan ratusan mahasiswa dari Indonesia yang menjadi korban kerja paksa saat kuliah di Taiwan.
“Kami akan cek, saya belum dapat memastikan (kebenaran) informasi tersebut,” kata Menristekdikti, Kamis (3/1/19) seperti yang dilansir Kantor Berita Antara.
Menristekdikti menduga keberangkatan 300 mahasiswa asal Indonesia yang mengalami kerja paksa di Taiwan tersebut tidak melalui program-program resmi dari Kemenristekdikti sehingga tidak terpantau.
Menurut dia, jika para mahasiswa masuk melalui Program Taipei Economic and Trade Office (TETO), maka pihaknya bisa mengontrol dan mengendalikannya.
“Yang melalui Kemenristekdikti itu melalui TETO atau kerja sama di bidang perdagangan yang di dalamnya ada mengenai pendidikan,” ujarnya.
Kemenristekdikti juga akan melakukan koordinasi dengan perwakilan TETO yang ada di Jakarta guna menindaklanjuti informasi mengenai kerja paksa ratusan mahasiswa Indonesia di Taiwan.
“Katanya kuliah sehari dua hari lainnya kerja, itu yang saya belum tahu. Kami koordinasi dengan TETO, nanti kita lihat apa permasalahannya,” pungkasnya.
Reporter: Teguh Imami
Editor: Muhammad Nashir