Suaramuslim.net – Pasca razia buku-buku PKI oleh TNI di Pare Kediri, muncul sejumlah pihak yang merasa gerah terhadap aksi TNI. Mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh TNI dianggap kebablasan, lebay, tidak prosedural, dan bahkan dianggap mencari panggung untuk berkuasa kembali. Menariknya, TNI telah mengklarifikasi bahwa tindakan sweeping terhadap buku-buku PKI itu semata-mata untuk kepentingan melindungi ideologi negara. Bahkan tindakan sweeping itu sesuai dengan prosedur dan merujuk pada kesepakatan bersama dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang.
Sweeping Buku PKI dan Perlawanan Terhadap TNI
Presiden Jokowi sempat memerintahkan kepada Kapolri dan Panglima TNI untuk tidak ada lagi sweeping terhadap buku-buku PKI. Kemudian muncul usulan untuk memecat anggota TNI yang melakukan sweeping itu. Suasana semakin memanas setelah muncul pernyataan yang menyalahkan aksi TNI dan menginformasikan bahwa kekhawatiran terhadap PKI merupakan tindakan berlebihan dan kebablasan. Di medsos muncul pernyataan yang merujuk pada ucapan mantan presiden Megawati Soekarnoputri bahwa aksi TNI itu hanya untuk mencari panggung guna meraih kekuasaan. Sementara Eva Sundari menyatakan bahwa penyitaan buku itu hanyalah lebay padahal yang seharusnya melakukan hal ini adalah polisi. Bahkan beberapa pihak merujuk pada ucapan Puan Maharani yang menyebut bahwa PKI tidak sepenuhnya salah tapi hal itu karena ulah mantan mertua Prabowo.
Intinya, pihak yang merasa kurang nyaman dengan apa yang dilakukan TNI, dengan merazia buku-buku PKI, menganggap sebagai tindakan yang salah. Masyarakat dipandang sudah mengerti dan bisa membedakan mana buku yang baik dan mana yang berbahaya, sehingga tidak perlu razia. Bahkan muncul pandangan bahwa PKI tidak sepenuhnya salah, dan hanya sebagai korban, sehingga eksistensi harus diberi ruang.
Tentu saja apa yang menjadi perdebatan antara PKI sebagai kekuatan atau bahaya laten dan kekhawatiran yang berlebihan telah menjadi konsumsi publik. Kalau era Orde Baru, apapun yang berbau PKI, bukan saja dirazia, tetapi akan diproses secara hukum. Tidak pernah ditemukan siapapun yang memiliki indikasi PKI, seperti keturunan, atau mengenakan simbol atribut PKI maka akan berurusan dengan pihak keamanan. Namun saat ini, ada pandangan bahwa PKI mendapat angin. Salah satu indikasinya, ada orang yang memakai kaos palu arit atau atribut PKI lainnya tidak memperoleh tindakan dari pihak keamanan.
Pihak TNI sendiri menyatakan bahwa tindakan merazia buku-buku PKI memiliki dasar yang kuat, sebagaimana pres rilis Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) V Brawijaya, Kolonel Singgih Pambudi Arinto, bahwa razia itu dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak seperti Kodim, intelkam, Polres Kediri, Kajri, Satpol PP, dan Kesbangpol.
Bahkan Kapendam menyatakan bahwa PKI merupakan ideologi terlarang dengan merujuk pada TAP MPRS nomor XXV tahun 1966. Dalam TAP MPRS ini merupakan larangan terhadap ideologi Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sehingga razia terhadap buku-buku PKI itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Bahkan dalam pasal UU nomor 27 tahun 1999 pasal 107 a disebutkan “Barangsiapa yang melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan, atau melalui media apapun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk apapun dan perwujudannya, dipidana dengan penjara paling lama 12 tahun.” Bahkan pada pasal 107 e diperjelas bahwa bagi pihak yang mengadakan hubungan, atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun luar negeri, yang diketahui berasaskan pemahaman Komunisme/Marxisme-Leninisme, atau dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara, atau menggulingkan pemerintah yang sah, juga wajib mendapatkan hukuman sesuai peraturan yang sudah diberlakukan.”
Dengan demikian, razia atau pelarangan terhadap buku-buku PKI memiliki rujukan yang kuat sehingga PKI harus dipandang sebagai sebuah ideologi yang mengancam eksistensi negara. Inilah yang disebut-sebut oleh Menteri Pertahanan, Jenderal Ryamizard Ryacudu yang pernah mengatakan bahwa bahaya laten PKI bukanlah hal yang mengada-ada, tetapi merupakan sebuah realitas yang bisa mengancam kehidupan berbangsa dan negara.
Deideologisasi TNI
Tuduhan terhadap apa yang dilakukan TNI ketika merazia buku-buku TNI dianggap untuk masuk dalam panggung politik tidaklah sepenuhnya benar. Bahkan ini justru ingin menjauhkan peran TNI dalam melakukan pengamanan terhadap ideologi yang sedang terancam. TNI merupakan salah satu institusi negara yang diharapkan oleh rakyat bisa menjaga ideologi negara dari berbagai ancaman. Hal ini tidak lepas dari peran partai politik, ormas, dan institusi-institusi lain yang dianggap tidak bersuara ketika melihat perkembangan ideologi komunis yang demikian pesat.
Kalau di era Orde Baru, kekuatan PKI diamputasi dan tidak diberi peran dan ruang sama sekali, namun di era saat ini pengusung ideologi PKI, bukan hanya diberi peluang untuk hidup, tetapi justru diberi ruang untuk mengembangkan ideologinya. Munculnya buku “Aku Bangga menjadi Anak PKI” dan penulisnya duduk sebagai anggota legislatif merupakan indikasi bahwa PKI bukan lagi menjadi bahaya laten. Apalagi, berbagai pos penting dalam institusi negara sudah dimasuki dan dikuasai oleh orang-orang yang mendukung gagasan PKI berkembang.
Oleh karena itu, lambannya berbagai institusi atau ormas dalam merespon perkembangan PKI yang demikian pesat, merupakan salah satu alasan bagi TNI untuk menyelamatkan ideologi negara. Salah satu bentuk kepedulian untuk menyelamatkan ideologi negara adalah dengan melakukan razia terhadap buku-buku PKI. Kalaupun ada tuduhan terhadap TNI yang dianggap mencari panggung, hanyalah alasan untuk menutupi perkembangan PKI yang sudah begitu kuat.
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net