Suaramuslim.net – Saya mengamati lumayan teliti perkembangan politik rezim Jokowi sejak diresmikan pada Oktober 2014. Di samping negara pertama yang dikunjungi adalah Tiongkok (rezim komunis), dan diulangi setiap tahun sampai dengan tahun 2017, rezim Jokowi menampakkan sikap yang tidak ramah terhadap Islam dan umatnya. Boleh jadi negara besar yang dikagumi dan sangat disayangi Jokowi adalah RRT (Republik Rakyat Tiongkok).
RRT yang dikuasai oleh Partai Komunis Cina ini tidak pernah berubah prinsip-prinsip dasar politiknya, sejak dari Mao Zedong sampai Xi Jinping yang sekarang. Antara lain politik penindasan terhadap umat beragama. Yang kita saksikan hari-hari ini, penindasan, penganiayaan dan pembunuhan terhadap etnik Uighur yang beragama Islam sungguh sangat biadab. Paling tidak sekitar 1 juta orang Uighur dimasukkan ke dalam kamp-kamp konsentrasi dalam rangka “pendidikan politik”.
Bagi rezim Xi, Islam adalah penyakit jiwa (Islam is mental illness). Sudah puluhan ribu etnik Uighur lenyap tanpa bekas. Tentang kebengisan dan kebiadaban rezim komunis, bisa kita baca sangat lengkap dari laporan-laporan para pejabat PBB (United Nations). Sampai detik ini, untuk urusan ethnic cleansing terhadap etnik Uighur yang demikian biadab, rezim Jokowi sunyi senyap. Kriminalisasi terhadap ulama serta politik pecah belah terhadap umat Islam di negara kita sudah menjadi rahasia umum.
Purbasangka terhadap umat Islam mencuat ketika pimpinan Aksi Bela Islam pada 4 November 2016 dengan baik, sopan dan transparan ingin bertemu dengan Jokowi, malahan ditinggal pergi untuk urusan teknis remeh-temeh. Di masjid Istiqlal, sebelum bergerak turun ke Monas, jemaah yang jumlahnya ratusan ribu memadati masjid menyimak pengarahan para ulama dan habaib. Saya catat dalam ingatan, pidato beberapa tokoh Aksi Bela Islam itu mengimbau kepada pemerintah, jangan sampai pemerintah bersikap apriori pada mereka. Mengapa justru dilemparkan tuduhan tanpa fakta bahwa aksi mereka ditunggangi partai politik, dibayar, tidak murni, disusupi teroris, mau mengganti Pancasila dengan Syari’at Islam, dan yang paling seram: akan menghabisi kaum minoritas?
Kalau Jokowi dan para teman andalannya mau berpikir lumayan objektif, jumlah massa yang mendatangi rentetan Aksi Bela Islam sejak awal sampai Reuni Akbar Alumni 212, bukan makin mengecil dan makin lembek, tetapi justru makin membesar dan tambah semangat. Sebabnya jelas: mereka ingin meyakinkan rezim bahwa mereka juga bagian anak bangsa yang harus didengar dan diperhatikan aspirasinya.
Dari waktu ke waktu rezim Jokowi terus-terusan membuat blunder. Dana haji diselewengkan untuk membangun infrastruktur; azan tidak boleh terlalu keras; kriminalisasi ulama, Jokowi jalan terus tanpa henti; orang yang bersemboyan lebih baik membunuh orang Islam duluan daripada keburu dibunuh tidak tersentuh oleh hukum, bahkan kini jadi gubernur; suara kidung lebih merdu daripada suara azan; ada politikus tua sangat jumawa berkata bahwa suara Islam tidak dibutuhkan; mengejar-ngejar para aktivis yang mendengungkan hashtag #gantipresiden; dan berbagai perlakuan diskriminatif terhadap umat Islam.
Umat Islam berdasarkan agamanya, jauh mencintai perdamaian daripada kerusuhan, apalagi peperangan. Hampir tak ada rumput yang terinjak dan pohon kecil tercabut di Reuni Akbar Alumni 212. Perhatikan, begitu tertib dan disiplinnya umat Islam yang melakukan reuni akbar itu. Mereka adalah kekuatan moral bangsa yang tidak boleh diremehkan. Namun sayang sekali, Jokowi dan para kamerad-kameradnya tidak dapat membaca aspirasi umat Islam yang serba demokratis, transparan, legitimate dan konstitusional.
Buang jauh-jauh elemen Islamophobia dari rezim Jokowi, niscaya akan kelihatan betapa umat Islam, sesuai ajaran agamanya, menghendaki keselarasan, kedamaian, bukan pertikaian, apalagi pertarungan sesama anak bangsa.*
Dikutip dari e-book karya Prof. M. Amien Rais berjudul “Hijrah; Selamat Tinggal Revolusi Mental Selamat Datang Revolusi Moral.”
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net