Masuk dan Berkembangnya Islam di Betawi

Masuk dan Berkembangnya Islam di Betawi

Masuk dan Berkembangnya Islam di Betawi
Ilustrasi laki-laki Betawi

Suaramuslim.net – Seperti sejarah masuknya Islam di nusantara yang banyak versi, begitu pula dengan sejarah masuknya Islam di tanah Betawi. Tidak ada pendapat yang sama tentang kapan Islam mulai masuk untuk mengawali perkembangannya di wilayah ini.

Pendapat yang umum, seperti yang dikutip Abdul Aziz, Islam masuk di tanah Betawi pada saat Fatahillah (Fadhillah Khan) menyerbu Sunda Kelapa untuk menghapuskan pendudukan Portugis, tepatnya pada tanggal 22 Juni 1527. Versi yang lain datang dari budayawan Betawi, Ridwan Saidi, yang menyatakan bahwa Islam masuk pertama kali di tanah Betawi berawal dari kedatangan Syekh Hasanuddin yang kemudian dikenal dengan nama Syekh Quro, seorang  ulama yang berasal dari Kamboja pada tahun 1409. Dari sinilah fase perkembangan Islam dan sejarah keulamaan di tanah Betawi terbentuk sebagai berikut.

Fase Perkembangan Islam dan Sejarah Keulamaan di Tanah Betawi

  1. Fase awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya (1418-1527 M): Syekh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpi Dato Depok, Dato Tonggara dan Dato Ibrahim Condet, Dato Biru Rawa Bangke.
  1. Fase lanjutan penyebaran Islam (1522-1650 M): Fatahillah (Fadhillah Khan), Dato Wan, Dato Makhtum, Pangeran Sugiri Kampung Padri, Kong Ja`mirin Kampung Marunda.
  1. Fase lanjutan kedua penyebaran Islam (1650-1750 M): Abdul Muhid bin Tumenggung Tjakra Jaya dan keturunannya yang berbasis di Masjid Al Manshur Jembatan Lima, keturunan dari Pangeran Kadilangu, Demak yang berbasis di Masjid Al-Makmur, Tanah Abang.
  1. Fase Pertama Perkembangan Islam (1750-awal Abad 19 M): Habib Husein Alaydrus Luar Batang dan Syekh Junaid Al Betawi, Pekojan.
  1. Fase Kedua Perkembangan Islam dari Abad ke-19 sampai sekarang.

Syaikh Quro: Ulama Betawi Pertama

Dari hasil penelitian Ridwan Saidi dikatakan bahwa ulama Betawi yang pertama yang dapat dilacak jejaknya adalah Syekh (Syaikh) Quro, Karawang. Alasan Syekh Quro dijadikan sebagai ulama Betawi pertama oleh Ridwan Saidi karena kiprahnya dalam mengislamkan orang-orang Betawi yang berada di Karawang, walau Syekh Quro berasal dari Campa (Kamboja) bahkan ia memiliki murid yang kemudian menyebarkan Islam sampai ke wilayah Sunda Kelapa (Jakarta).

Karawang sendiri, menurut Ridwan Saidi, termasuk dalam wilayah kebudayaan Betawi.  Diterimanya Syekh Quro oleh orang Betawi di Karawang karena ia adalah orang Campa.

Menurut Ridwan Saidi, orang Campa adalah orang Melayu yang pernah memiliki kerajaan. Mereka mempunyai hubungan erat dengan orang-orang Malabar yang juga akrab dengan orang-orang di Jawa bagian barat sejak kurun sebelum Masehi. Baik orang Campa maupun orang Betawi sudah biasa dengan kehidupan yang pluralis. Maka transformasi nilai-nilai Islam ke aorta komunitas Betawi tidak mengalami kesulitan.

Kisah orang Campa yang menyiarkan Islam di Karawang tidak hanya berhenti di Syekh Quro. Di Batu Jaya, Karawang terdapat sebuah makam yang dihormati berlokasi di tepi kali Citarum. Makam itu adalah makam Guru Toran yang berdarah Campa.

Nama lain Syekh Quro adalah Syekh Qurotul`ain, Syekh Mursyahadatillah atau Syekh Hasanuddin. Ia dipanggil Syekh Quro karena ia ahli ngaji atau qira`at yang sangat merdu. Tidak diketahui mengapa ia dipanggil Syekh Qurotul`ain atau Syekh Mursyahadatillah. Sedangkan nama Syekh Hasanuddin diyakini sebagai nama aslinya.

Syekh Quro adalah putra dari salah seorang ulama besar di Makkah, yaitu Syekh Yusuf Siddik yang menyebarkan agama Islam di Campa. Syekh Yusuf Siddik masih keturunan Sayidina Husain bin Sayyidina Ali Karamallaahu wajhah. Tidak diketahui dengan pasti tentang riwayat masa kecil dari Syekh Quro. Sumber tertulis hanya menjelaskan bahwa pada tahun 1409 masehi, setelah berdakwah di Campa dan Malaka, Syekh Quro mengadakan kunjungan ke daerah Martasinga Pasambangan dan Japura hingga akhirnya sampai ke pelabuhan Muara Jati, Cirebon.

Kedatangan Syekh Quro disambut dengan baik oleh Ki Gedeng Tapa atau Ki Gedeng Jumajan Jati yang masih keturunan dari Prabu Wastu Kencana. Demikian juga masyarakat di daerah tersebut yang sangat tertarik oleh sifat, sikap dan ajaran yang disampaikan oleh Syekh Quro, sehingga mereka banyak yang menyatakan memeluk agama Islam.

Kegiatan dakwah yang dilakukan Syekh Quro ini ternyata sangat mencemaskan Raja Pajajaran yang ketika itu dijabat oleh Prabu Anggalarang. Syekh Quro diminta oleh Raja Pajajaran ini untuk menghentikan kegiatan dakwahnya. Permintaan ini dipatuhi oleh Syekh Quro. Tidak lama kemudian, Syekh Quro mohon pamit, dan Ki Gedeng Tapa sendiri merasa prihatin atas peristiwa yang menimpa ulama-ulama besar itu. Sebab, ia pun ingin menambah pengetahuannya tentang agama Islam, karenanya ketika Syekh Quro kembali ke Campa, putrinya yang bernama Nyi Mas Subang Larang, dititipkan ke Syekh Quro untuk dididik agama Islam di Campa.

Syekh Quro Mendirikan Pesantren di Karawang

Beberapa tahun kemudian, Syekh Quro kembali ke wilayah Pajajaran. Ia kembali bersama pengiringnya menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit. Dalam pelayarannya itu, armada Cheng Ho tiba di Pura Karawang, Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang.

Di antara anggota pengiringnya tersebut adalah Nyi Mas Subang Larang, Syekh Abdul Rahman, Syekh Maulana Madzkur dan Syekh Abdillah Dargom alias Darugem alias Bentong bin Jabir Mudofah. Karena perilaku yang simpatik, pada tahun 1418, Syekh Quro dan pengiringnya diberikan izin oleh aparat setempat untuk mendirikan musala sebagai sarana ibadah sekaligus tempat tinggal, yang menjadi pondok pesantren pertama di Karawang bahkan mungkin di Indonesia. Musala ini juga menjadi cikal bakal Masjid Agung Karawang sekarang ini.

Berita kedatangan dan kegiatan Syekh Quro di Karawang terdengar oleh Prabu Anggalarang yang kemudian mengirim utusannya menutup pesantren Syekh Quro. Utusan yang datang itu dipimpin oleh putra mahkota yang bernama Raden Pamanah Rasa. Sesampainya di pesantren Syekh Quro, Raden Pamanah Rasa tertarik oleh alunan suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Al Quran yang dikumandangankan Nyi Mas Subang Larang sehingga ia mengurungkan niatnya untuk menutup Pesantren Syekh Quro. Selain itu, Raden Pamanah Rasa jatuh hati kepada Nyi Mas Subang Larang. Akhirnya, keduanya menikah setelah Raden Pamanah Rasa masuk Islam.

Dari pernikahan ini mereka mendapatkan tiga orang putra-putri, yaitu Raden Walangsungsang, Nyi Mas Rara Santang, dan Raja Sangara. Raja Sangara terkenal dengan nama Prabu Kian Santang (Sunan Rohmat) penyebar agama Islam di tanah Sunda. Bahkan menurut Ridwan Saidi, Kian Santang juga penyebar agama Islam di tanah Betawi, khususnya di daerah Karawang.

Menjelang akhir hayatnya, Syekh Quro melakukan uzlah atau menyepi diri dari pesantrennya ke salah satu Dusun Pulobata, Desa Pulokalapa yang sekarang masuk ke dalam wilayah kecamatan Lemahabang yang masih berada di wilayah Karawang.

Ada keterangan yang menarik mengenai letak kuburan Syekh Quro. Menurut pengakuan salah satu imam Masjid Agung Karawang. Syekh Quro wafat dan dikuburkan persis di depan Masjid Agung Karawang, yang kini ditutupi oleh tembok. Hal ini dilakukan agar orang tidak ramai menziarahi kuburannya dan mengkultuskannya. Namun, di buku Ikhthisar Sejarah Singkat Syekh Qurotul`ain dikatakan bahwa makam Syekh Quro berada di Pulobata sehingga banyak orang yang datang menziarahinya untuk berbagai keperluan.

Dari pengakuan E. Sutisna (keturunan dari Raden Somaredja yang menemukan makam tersebut) makam Syekh Quro yang berada di Pulobata adalah ”maqam” atau petilasan, bukan kuburannya. Sehingga dapat dikatakan bahwa yang berada di Masjid Agung Karawang adalah kuburan dari Syekh Quro, bukan yang berada di Pulobata.

Sumber: Genealogi Intelektual Ulama Betawi; Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Abad ke-21. Diterbitkan oleh Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta Islamic Centre, 2011, halaman 31-36.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment