Suaramuslim.net – Secara sangat singkat saya ingin mengingatkan bahwa menurut Pasal 30 UUD 1945, TNI (AD, AL dan AU) sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara. Sedangkan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Dalam pada itu TNI punya doktrin Sapta Marga, Sumpah Prajurit, dan 8 wajib TNI, sedangkan Polri memiliki Tribata, Catur Prasetya serta 11 asas kepemimpinan yang sangat ideal, sesuai dengan moralitas yang luhur dan adiluhung. Baik TNI maupun Polri adalah alat negara. Kesetiaan puncak keduanya adalah pada negara, bukan pada pemerintah.
Pemerintah yang konsekuen menjalankan ideologi negara (Pancasila), Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945 dan benar-benar menjaga NKRI, pemerintah itu otomatis didukung, dilindungi dan dibela oleh TNI dan Polri.
Loyalitas TNI dan Polri pada pemerintah bersifat fakultatif, tergantung apakah pemerintah masih lurus atau sudah menyeleweng dari Pancasila dan UUD 1945. Karena itu, bila ada pemerintah yang bergeser dari rel yang benar, TNI dan Polri akan mencabut loyalitas mereka, secara otomatis. Mengapa? Karena TNI dan Polri punya loyalitas wajib, yakni pada bangsa dan rakyat Indonesia. Kepentingan bangsa adalah juga kepentingan TNI dan Polri. Sama sekali tidak ada cerita TNI dan Polri membela salah satu golongan, partai, agama, suku, etnik tertentu. Keduanya berada di atas kepentingan semua golongan.
Kepentingan TNI dan Polri sama dan sebangun dengan kepentingan bangsa Indonesia. Kepentingan nasional bangsa Indonesia adalah juga kepentingan TNI dan Polri. Secara demikian kita mengimbau dan mengingatkan, jangan sampai pimpinan TNI dan Polri membuka peluang ikut terseret ke dalam kepentingan politik yang bersifat sesaat, namun risikonya bisa jadi musibah bangsa sepanjang masa.
Ada sebuah rumus mutlak yang harus kita ingat selalu, yakni, begitu TNI dan Polri ikut campur politik praktis, ikut power politics partai-partai, maka secara otomatis TNI dan Polri pecah ke dalam. Pasti, tidak bisa tidak.
Di zaman peralihan Orde Baru ke Orde Reformasi, ada dua istilah yang sangat populer waktu itu, yakni TNI adalah motivator dan stabilisator demokrasi. Polri tidak disebut dalam semboyan itu, karena pada waktu itu Polri berada dalam kesatuan ABRI. Secara bertahap TNI-Polri mundur dari gelanggang politik. Setelah itu tidak ada lagi Fraksi TNI/Polri di DPRD dan DPR-RI.
Di mata rakyat TNI dan Polri pasca Orde Baru tetap punya nama yang harum, karena reputasinya yang profesional, proporsional dan konstitusional. Maka apabila sekarang TNI dan Polri sampai membiarkan diri mau diseret ke politik praktis oleh siapa pun, termasuk oleh presiden, TNI dan Polri bisa menjadi provokator dan destabilisator demokrasi.
Ada baiknya kita perhatikan ungkapan Jawa zaman dulu, jangan sampai kita terjebak atau terperangkap pada kesenangan atau kepentingan sesaat, tetapi risiko buruknya bisa dialami sepanjang musim hujan dan musim kemarau (Penake mung sak klentheng, rekasane sak ketigo rendheng).*
Dikutip dari e-book karya Prof. M. Amien Rais berjudul “Hijrah; Selamat Tinggal Revolusi Mental Selamat Datang Revolusi Moral.”
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net