Suaramuslim.net – Menunaikan shalat Jumat, bagi seorang lelaki Muslim, adalah fardhu. Wajib tanpa kecuali, selain bila ada aral yang dibenarkan dengan dalil agama. Mereka yang sakit payah hingga tidak dapat pergi ke masjid, atau mereka yang dalam perjalanan jauh—semua ini masuk kategori yang diperbolehkan tidak menghadiri Jumatan.
Sebagai tempat dilangsungkannya shalat Jumatan, masjid terbuka tanpa syarat pada siapa saja yang hendak menunaikan kewajiban tersebut. Pengurus masjid, yakni ketakmiran, dalam hal ini memfasilitasi terselenggarakannya ibadah Jumat secara aman, lancar, tenang, dan menghadirkan kekhusyukan. Siapa saja yang hadir ke masjid untuk menunaikan shalat Jumat, pertama-tama harus dilihat sebagai bentuk keniscayaan.
Mereka, secara sadar ataukah terpaksa, tengah menunaikan kewajiban dalam Islam. Bukanlah ranah pengurus masjid untuk memaksa orang per orang untuk menjalankan shalat Jumatan. Ini wilayah kekuasaan pemimpin melalui perangkatnya, begitulah dalam khazanah politik Islam.
Bila kekuasaan dipergunakan untuk memaksa orang per orang (lelaki) yang beridentitas Islam untuk shalat, maka tidak ada lagi kewajiban lebih jauh dari itu. Tidak ada hak, apalagi kewajiban, untuk memeriksa niat, motivasi, dan tendensi seseorang untuk datang Jumatan. Perintah yang ada: kekuasaan dipergunakan untuk memaksa orang menaati ibadah Jumatan. Adapun soal niat dan motivasi di sebaliknya, itu tidak lagi menjadi bagian yang melekat.
Tentu saja, pemaksaan hanya satu cara agar perintah agama ini berjalan. Hanya saja, jangan sampai salah kira, berjalannya perintah agama tidak akan bergantung pada ada atau tidaknya pemaksaan. Masih banyak Muslim yang secara ikhlas dan sadar penuh penghayatan ingin menjalankan ibadah semata-mata karena Allah. Pemaksaan menjadi hal irasional buat mereka ketika tawaran pahala dari Allah ataupun kesadaran iman yang menghunjam dalam jiwanya sudah sedemikian kokoh.
Memeriksa niat dan motivasi seseorang kala jalankan ibadah Jumatan, lantas ini menjadi cara kita—selaku pengurus masjid—menegakkan aturan rumah Allah, sebenarnya bias kepentingan dan tafsiran kepentingan si penuduh. Menggeledeah niat itu sesuatu yang absurd. Tidak ada guna dan kepastian menetapkan apakah niat seseorang itu sebagaimana yang disangkakan.
Memandang seseorang yang tengah naik dalam pencalonan jabatan publik punya motif tertentu ketika menjalankan ibadah Jumat. Sebenarnya ini tudingan menggelikan apabila tidak ada bukti empiris yang telah berlangsung. Ia hanya didasarkan asumsi dan kenyataan yang terjadi oleh pihak lain. Padahal, tidaklah sama kenyataan yang bakal terjadi tersebut. Bagaimana bisa Jumatan belum dikerjakan seseorang berhak divonis beribadah karena alasan politik? Bagaimana bisa jajaran ketakmiran menghakimi sesuatu yang seseorang itu tengah menunaikan fardhu dan hak rabbnya?
Lain soal ketika tuduhan itu berasal dari kejadian yang telah terjadi. Ada bukti, dan terlebih lagi diulang-ulang oleh pelaku yang sama pula. Shalat di depan kamera dan belasan juru kamera seakan prosedur tetap di banyak tempat. Kalau tidak ada kondisi yang memudahkan seperti itu, ada pihak di sekitar si politikus mengatur dan menata agar ada perulangan tindakan (action) di depan kamera.
Tingkah semacam inilah yang patut diawasi sebagai atraksi politik sadar. Niat beribadah mungkin, dan mestilah dihukumi, benar adanya tapi patut diduga ada percampuran dengan motif lain. Betapa tidak, ibadah dikomodifikasi sebagai ajang pamer oleh para pendukungnya, sementara si politikus hanya membiarkan dan terkesan menikmati begitu saja.
Karena itulah, menuding politisasi satu kewajiban dalam agama sebenarnya sederhana dan tidak perlu repot-repot sampai kita masuk tindakan prasangka buruk. Mengapa kita sampai merasa perlu memasuki area malaikat untuk mencatat niat seseorang beribadah dengan dihakimi sebagai perbuatan cari pamer dan simpati rakyat banyak? Mengapa kita tidak menggeledah hal yang abstrak sementara hal yang kasatmata tindakan pamer oleh segelintir oknum tidak jadi acuan untuk pembanding?
Mudahnya larangan menggunakan masjid dengan tuduhan (baca: asumsi) sebagai politisasi agama sejatinya hanya artikulasi kepentingan terancam pihak penuding. Ada kecemasan terjadinya pergeseran kepentingan yang membuat pihak penuding jadi tersingkir. Kecemasan ini sudah tentu hanya rasa kalut dalam pikiran; bukan kejadian faktual.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net