Suaramuslim.net – Seluk beluk kehidupan umat Islam tidak bisa luput dari fikih. Mulai dari urusan bersuci, urusan waris, hibah, pernikahan hingga urusan politik (siyasah). Sedari kecil, kita diperkenalkan dengan fikih, terutama fikih ibadah. Lalu bertahap ke bangku sekolah hingga menapaki perguruan tinggi. Pasca wisuda, menjadi guru dan dosen di Fakultas Agama tetap tak bisa lepas dari fikih.
Di dalam lembaran sejarah, dikenal fikih empat Imam mazhab. Ada pula Fikih al-Auzai dan al-Zahiri. Di negeri kita tercinta, fikih yang dominan dipelajari di pesantren dan madrasah adalah fikihnya Imam Syafi’i. Sisanya ada yang mendalami fikihnya Imam Ahmad bin Hanbal. Fikih Imam Ahmad cukup berguna ketika umat Islam Indonesia melakukan aktivitasnya di Arab Saudi.
Dibandingkan dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf, dan falsafah. Menurut Nafiul lubab dan Novita Pancaningrum dalam Jurnal Yudisia, Vol. 6, No. 2, Desember 2015, “Fikih adalah yang paling kuat mendominasi pemahaman orang-orang muslim akan agama mereka. Sehingga paling banyak membentuk bagian terpenting cara berpikir mereka. Kenyataan ini dapat dilihat dari sejarah ekspansi militer orang muslim ke luar jazirah Arab, dan penguasaan penguasa dalam masyarakat atau negara dengan fikihnya.”
Membincangkan perkara mendalami ilmu fikih tentu ada pedoman-pedomannya. Pedoman untuk guru (ustaz) dan sang murid atau dosen (mualim) dan para mahasiswa. Dr Abd Chalik M.Ag dalam buku Pengantar Studi Islam (Kopertais IV Press, 2017) memberi tiga pedoman ketika seseorang ingin mempelajari dan mendalami fikih.
Pertama, dilarang membahas peristiwa yang sangat sukar (pelik), apalagi peristiwa yang belum terjadi sampai ia terjadi. Sesuai dengan firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Surah Al Maidah: 101)
Kedua, menjauhi banyak bertanya. Dari Abu Hurairah radiyallahu ’anhu, dari Nabi Muhammad shallallaahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda, ”Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian. Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah karena banyaknya pertanyaan mereka dan (banyaknya) penyelisihan mereka kepada para nabi mereka. Maka apabila aku melarang sesuatu kepada kalian, tinggalkanlah. Dan apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kalian, kerjakanlah semampu kalian” (Muttafaqun ’alaihi)
Terakhir, menghindarkan perpecahan dan berbantah-bantahan. “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (Surah ali Imran: 103).
Di ayat lain ditegaskan, “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang pengaruhmu…” (Surah al-Anfal: 46). Wallahu’allam.