Suaramuslim.net – Di beberapa kesempatan pertemuan wali murid di sekolah, saat penerimaan raport, seminar, maupun workshop parenting, mayoritas pesertanya adalah kaum perempuan, kaum ibu. Walaupun ada beberapa orang ayah, namun kalah jauh jumlahnya bila dibandingkan dengan kaum ibu.
Fenomena ini menarik. Karena, sepertinya ada kesepakatan tidak tertulis pada keluarga modern yang sibuk berpacu memburu nafkah bahwa urusan parenting dan pengasuhan anak adalah wilayah para ibu, bukan domain ayah.
Kaum lelaki yang menjadi Ayah lebih cenderung memanfaatkan pembenaran bahwa tugasnya adalah di luar rumah, bekerja atau berdagang. Hanya mencari nafkah. Sedangkan membesarkan mengasuh anak adalah tugas domestik seorang ibu, merangkap sebagai manajer keuangan dan manajer rumah tangga.
Parahnya lagi, ternyata tidak sedikit keluarga yang anaknya terbiasa “ber-ayah ada, ber-ayah tiada”. Mereka bertemu ayahnya sebentar di pagi hari atau bahkan tidak bertemu sama sekali, dan baru bertemu lagi di malam hari. Hasil penelitian yang dilakukan di Amerika oleh Benry Biller menunjukkan bahwa waktu efektif antara anak dan ayahnya adalah 19 menit sehari atau hanya di akhir pekan saja. Lalu apa yang bisa diharapkan dari nineteen minutes father tersebut?
Kasus di Indonesia gejalanya hampir sama. Seperti kata Ely Risman ketika menjawab pertanyaan mengapa anak-anak sekarang nakalnya sudah kelewatan? Ely berkesimpulan bahwa Indonesia is the fatherless country. Artinya, Indonesia bukanlah negara janda, tetapi banyak ayah hadir secara fisik tetapi mereka tidak hadir secara emosional dan spiritual dalam waktu dan jumlah yang cukup di hadapan anak.
Maka dari itu, di antara banyak kesibukan mencari nafkah, demi membangun kehidupan yang lebih baik di tempat kerja, sempatkan dan luangkan waktu untuk menjalin intensitas komunikasi dan kebersamaan dengan anak. Jadikan acara “bersama anak” menjadi agenda prioritas yang utama. Karena sejatinya hanya ayah yang memiliki ‘otoritas’ dan ‘power‘ sedemikian rupa, yang sangat efektif dalam pembentukan karakter anak kita sebagai generasi yang unggul, mulia dan takwa.
Uji statistika membuktikan bahwa pola asuh dan kedekatan seorang ayah terhadap buah hatinya berpengaruh sangat signifikan, bahkan hingga kisaran 69 persen terhadap tumbuh kembang dan perilaku ananda.
Mengutip perkataan George Herbert, ayah yang sukses bukanlah seorang pria yang kaya atau hebat dalam segala bidang, atau yang paling cemerlang karirnya di perusahaan. Melainkan, ayah yang sukses adalah ayah yang anak lelakinya berkata: “Aku ingin seperti Ayah”. Atau anak perempuannya berkata: “Aku ingin suami seperti Ayah”.