Suaramuslim.net – Di tengah berlangsungnya kegiatan belajar mengajar (KBM), salah satu anak didik saya bertanya tentang teologi yang dianut Ibn Sina. “Ibn Sina itu syiah katanya Badar, benar apa nggak pak?” tanya Galang kepada saya. “Yang perlu kalian ingat, Ibn Sina itu dokter sekaligus filosof. Filosof dari kalangan Syiah itu bukan beliau, tetapi Mulla Sadra“. Entahlah mereka tahu atau tidak tentang sosok Mulla Sadra. Andai mereka penasaran, biarlah mencari sendiri melalui laman google.
Di penghujung tahun 2015 rumor Ibn Sina berpaham syiah beredar luas melalui postingan di facebook. Postingan tersebut intinya menyerukan supaya orang tua jangan menamai bayinya dengan nama Ibn Sina atau Avicenna. Alasan orang yang melarang menamai darah dagingnya dengan nama Avicenna karena 2 hal :
1) Ibn Sina punya paham yang menyimpang, misalnya dinyatakan bahwa alam ini ada sebelum adanya (Allah SWT).
2) Ibn Sina dinilai menyimpang karena beliau ini penganut syiah dan atheis!
Postingan yang mengulas Ibn Sina tadi cukup mengusik pikiran dan hati saya. Belum saya temukan buku yang menyatakan Ibn Sina berpaham syiah. Sebagian besar buku filsafat dan ensiklopedi saya baca-baca lagi. Yang ada justru mengulas sumbangsih besar Ibn Sina dalam filsafat, kedokteran maupun geologi.
Postingan tersebut saya tanyakan kepada Prof Mulyadhi Kartanegara. Beliau adalah orang Indonesia yang mengajar di Universiti Brunei Darussalam. Berikut ini penjelasan lengkapnya. Pertanyaan pertama dari saya, “Assalamualaikum prof… apakah Ibn Sina Syiah?”
“Dalam otobiografinya dia tidak nengatakan apakah dirinya Syiah atau bukan. Dia mengatakan sering datang dari ismailiyyah ke rumah ayahnya, tapi ia malah tidak setuju dengan konsep mereka tentang jiwa. Saya rasa Ibn Sina sengaja menyembunyikan ideologi keagamaannya karena dia ingin merangkul semua. Banyak tokoh yang bukan syiah diklaim sebagai syiah oleh orang syiah. Seperti Rumi dibilang orang Syiah, tapi sebenarnya dia pengikut Asy’ari. Jangan karena dia menulis kitab dalam bahasa Persia, maka dia diklaim sebagai syiah.” Jawab Prof Mulyadhi.
Masih menurut Prof. Mulyadhi, “Saya sebenarnya kurang suka dengan menggolongkan para ilmuwan ke dalam faham sektarian. Yang terpenting bagi saya adalah membaca karyanya terlebih dahulu, lalu mengambil yang bermanfaat, mengkritik secara ilmiah yang salah. Apakah dia syiah atau bahkan yunani sekalipun kalau memang ada kebenaran dan manfaat, kenapa harus dicampakkan. Sebab sekarang ini banyak orang yang kalau sudah tahu seseorang bukan dari golongannya, terus jadi alergi dan tak mau baca karyanya. Sebuah kesalahan yang sangat merugikan.”
Kedua, “Apakah benar ibn Sina menyatakan bahwa alam ada mendahului Tuhan?” Beliau menjawab, “Saya tak pernah jumpai Ibnu Sina mengatakan alam mendahului Tuhan. Dia mengatakan bahwa alam adalah mumkinul wujud, sedang Tuhan wajibul wujud, dikatakan mumkinul wujud karena alam mungkin wujud tetapi tidak bisa mewujudkan dirinya, karena itu ia membutuhkan Tuhan sebagai wajibul wujud untuk keberadaannya.”
“Bagaimana alam bisa mendahului Tuhan, sedangkan Tuhan adalah sebab dan alam adalah akibat, justru bagi saya Ibn Sina membantu kita untuk membuktikan secara rasional keniscayaan adanya Tuhan,” ujar Prof Mulyadhi.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya tegaskan bahwa Avicenna adalah nama yang keren dan menorehkan banyak prestasi yang belum tentu bisa digapai oleh kaum milenial Indonesia. Hafal Al Quran usia 10 tahun dan mampu mengobati Sultan Nuh bin Mansur di usia 16 tahun. Usia ke 21 tahun menulis kitab “Al Qanun fil-Tibb” yang di dunia Barat diterjemahkan dengan judul “The Canon of Medicine.”
Tak perlu khawatir menyematkan nama Avicenna atau Ibn Sina kepada anak bahkan yayasan dan instansi yang kita dirikan. Anak pertama Drs. Basri Zain P.hD (kini menjabat wakil direktur Pascasarjana UIN Malang) dinamai Avicenna Basri. Ada juga mantan anak didik saya yang bernama “Yahya Avicenna”. Sebuah nama mengandung harapan dari para orang tua barang kali bisa meniru dan melampaui prestasi Ibn Sina. Wallahu a’lam.