Suaramuslim.net – “Kuserahkan hidup dan matiku hanya untukmu,” ucap seorang pemuda yang tengah resah menunggu kepastian cintanya. Kalimat tersebut adalah kutipan adegan sinetron remaja yang muncul saat iklan.
“Aku lebih baik mati daripada tidak bertemu dia,” kalimat resah lainnya meluncur dari pemuda tersebut saat cintanya tak direstui.
Hanya ‘sedikit’ perbedaan antara cinta pemuda yang sedang jatuh cinta tersebut dengan cinta para sahabat Rasulullah kepada Rabbnya.
Saat si pemuda mengatakan, “Kuserahkan hidup dan matiku hanya untukmu.” Para shahabiyah mengucapkan “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku kuserahkan kepada Allah, Tuhan semesta alam,” di dalam doa iftitah saat mereka salat.
Ketika si pemuda berucap “Aku lebih baik mati daripada tidak bertemu dia.” Sahabat mulia seperti Bilal bin Rabah lebih memilih untuk mati ditindih batu di tengah terik matahari dibandingkan harus menjadi kafir. Beberapa sahabat lainnya lebih suka menjadi syahid di medan perang. Mereka seolah berkata, “Aku lebih menyukai perjumpaan dengan Rabb-ku daripada mengakui selain Allah sebagai Tuhan.”
Ah, andai cinta kami kepada-Mu dimabuk kepayang. Orang yang tengah jatuh cinta rela melakukan apapun untuk yang dicintainya. Pun hal-hal yang ekstrem seperti rela menyerahkan jiwanya. Bukankah suatu hal yang amat indah jika kita mampu mencintai Allah lebih dari cinta sepasang kekasih yang tengah kasmaran?
Akan tetapi, Ibnul Qayyim menjelaskan, “Kalau orang yang sedang dilanda asmara itu disuruh memilih antara kesukaan pujaannya itu dengan kesukaan Allah, pasti ia akan memilih yang pertama. Ia pun lebih merindukan perjumpaan dengan kekasihnya itu ketimbang pertemuan dengan Allah Yang Maha Kuasa. Lebih dari itu, angan-angannya untuk selalu dekat dengan kekasih, lebih dari keinginannya untuk dekat dengan Allah.”
Ya, jatuh cinta memang membuat hati gundah gulana. Makan tak nyaman. Tidur pun tak tenang saat perasaan si dia tak juga terbaca. Lagu-lagu resah bin galau menjadi sahabat karib nan setia. Berbagai jurus pendekatan pun dilancarkan. Aksi ‘nembak’ lantas dilakukan. Saat si dia akhirnya menerima ungkapan sayang sang pencinta, hati pun melonjak kegirangan. Hari-hari selanjutnya diisi dengan agenda berduaan setelah resmi pacaran. Akan tetapi, apakah seperti itu Islam mengajarkan cara mengekspresikan cinta?
Pacaran itu diperbolehkan, tentunya setelah menikah. Sebelum menikah, Islam mengajarkan untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Tidak ada istilah pacaran islami yang dilakukan sebelum menikah. Lebih lanjut, ada batasan pergaulan yang hendaknya tidak ditawar. Hal ini berlaku bagi laki-laki dan perempuan.
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. … “ (Q.S. An-Nur: 30-31).
Lebih lanjut, saat ini justru semakin banyak perempuan yang getol mendekati laki-laki incarannya. Role model sinetron percintaan di televisi mengenai perempuan yang menyatakan cinta duluan menjadi biang keladinya. Hal itu sah-sah saja, jika memang siap menikah. Tentunya juga dilakukan dengan cara yang mulia.
Seperti halnya Khadijah yang melamar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ummahatul mukminin ini mulia karena pandai menjaga harga dirinya. Jika tujuannya hanya untuk pacaran, lebih baik simpan saja perasaan itu. Berat? Memang! Sebab harga surga itu mahal. Namun, pacaran setelah menikah akan terasa berkali lipat indahnya.
“Siapa saja yang mampu untuk menikah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menjaga pandangan dan menundukkan kemaluan. Siapa saja yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagaikan perisai” (H.R. Bukhari dan Muslim).
So, buat jomblo-ers yang masih pada galau. Udah SAH-in aja, daripada bikin reSAH!