Suaramuslim.net – Dalam sejarah penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia, baru tahun ini terjadi Pemilu yang anomali. Berbagai pelanggaran dan kecurangan mewarnai proses memilih pemimpin ini. Totalitas Petahana dalam menggerakkan dan memanfaatkan wewenang dan kekuasaannya untuk memenangkan pertarungan menjadi salah satu akarnya.
Sementara pihak lawan, dalam hal ini Paslon 02, tidak ingin dicurangi untuk yang kedua kalinya. Kubu Paslon 02 melihat gejala kecurangan itu terjadi sebelum hari pencoblosan. Pertarungan antara keinginan memperpanjang jabatan dan melawan gerakan kecurangan inilah yang menjadi faktor semakin memanaskan konflik di antara dua kubu ini.
Gelagat perlawanan Prabowo itu semakin besar ketika melihat adanya gerakan sistematis dari pihak Petahana untuk melakukan penggiringan opini bahwa kubu 02 telah menghalalkan segala cara dalam pertarungan ini.
Pilpres Anomali
Adanya muara kepentingan yang sama yakni untuk mempertahankan kekuasaan dan meraih kekuasaan, menjadi akar konflik yang sulit didamaikan. Pihak Petahana menginginkan 2 periode sehingga berbagai cara dihimpun untuk memenangkan pertarungan.
Opini publik melihat bahwa praktik kecurangan dan pelanggaran terhadap norma demokrasi dilakukan secara massif dan terbuka dilakukan oleh kubu Petahana. Publik menilai bahwa praktik kecurangan yang terjadi, banyak ditudingkan pada pihak Petahana. Tidak netralnya KPU dalam menjalankan tugasnya, seperti salah dalam menginput data, merupakan fakta yang terus menjadi sorotan publik.
Demikian pula all out pihak kepolisian dalam membantu Petahana untuk memenangkan pertarungan juga banyak disorot publik. Kurang amannya kotak suara, sehingga mudahnya oknum untuk melakukan pembakaran terhadap barang bukti itu, menjadi indikator kurang maksimalkan pengamanan kota suara.
Terbangunnya opini di masyarakat tentang praktik kecurangan di berbagai daerah semakin menunjukkan bahwa kualitas demokrasi ini sangat buruk dan memprihatinkan. Memuncaknya opini masyarakat tentang anomali Pilpres ini dipicu oleh adanya perhitungan cepat yang dilakukan oleh beberapa lembaga yang memenangkan Petahana.
Lembaga survei itu menyampaikan hasil hitung cepat (Quick Count) dan mengumumkan kemenangan paslon 01. Di sisi lain, pihak Paslon 02 menggunakan exit poll, dan menyatakan bahwa kubunyalah yang menang. Terlebih lagi pasangan 02 menyatakan bahwa kemenangannya didukung oleh informasi akurat berupa C1.
Opini kecurangan terhadap Petahana sudah tertanam begitu kuat. Berbagai aksi dukungan terhadap Paslon 01 selalu dipeyoratifkan sebagai sebagai sebuah gerakan mendelegitimasi Paslon 02. Adanya bendera tauhid yang bertuliskan kalimat tauhid dianggap sebagai gerakan sebagai simbol perlawanan terhadap negara. Bahkan respon terhadap pembakaran bendera yang bertuliskan “laa ilaha Illallah” semakin menguatkan adanya ancaman dari kelompok yang dianggap radikal.
Bahkan kubu Petahana mencurigai kubu 02 sebagai penyebar berita hoax, sehingga apapun yang disampaikan oleh kubu 02 langsung dicurigai sebagai berita hoaks. Kritik yang disampaikan kubu 02 dianggap sebagai ujaran kebencian. Demikian pula ketika menyampaikan aspirasi dianggap sebagai niat makar dan radikalisme.
Buruknya komunikasi di antara dua pihak membuat suasana itu semakin meruncing, sehingga apapun yang dilakukan oleh kubu 02 dianggap membahayakan penguasa. Sementara pihak 02 juga memiliki pandangan yang jauh lebih buruk terhadap kubu 01 karena mereproduksi kebijakan yang membelah dan menciptakan konflik di tengah masyarakat.
Puncaknya, pasca pencoblosan masing-masing kubu menunjukkan sikap perlawanannya. 02 menuduh Paslon 01 telah melakukan kecurangan karena membentuk opini kemenangan dengan menyandarkan pada hasil QC. Sementara kubu 01 juga menuduh Paslon 02 telah melakukan penggiringan publik dengan menyandarkan pada hitungan real (real count) yang dianggap terburu-buru dan belum tentu akurat.
Hilangnya Integritas Moral
Akar konflik sudah muncul karena masyarakat menilai bahwa Petahana tidak berhasil dalam menjalankan janji-janji politiknya. Alih-alih meminta maaf atas tidak terwujudnya janji-janji politiknya, tetapi justru melakukan politik pencitraan tentang klaim sejumlah keberhasilan selama memimpin. Namun rakyat sudah banyak yang terdidik dan sadar adanya pembelokan politik itu.
Di sinilah rakyat sudah menunjukkan ketidakpercayaan terhadap Petahana. Sepinya kampanye yang diselenggarakan kubu Petahana (01) dan antusiasme masyarakat menghadiri kampanye kubu Prabowo (02) menunjukkan ketidakpercayaan publik pada Petahana.
Di tengah kepercayaan itu, Petahana justru melakukan berbagai kecurangan seperti menggerakkan aparat kepolisian dan birokrasi untuk bekerja ekstra keras memenangkan kubu 01. Puncaknya, pasca Pilpres di mana Petahana masih menggunakan sisa-sisa kekuasaannya untuk menghancurkan Paslon 02 dengan mencurangi hasil Pilpres. Namun moral pendukung kubu 02 justru semakin militan dan siap melakukan perlawanan terhadap praktik kecurangan itu.
Andaikata presiden menyatakan sejak awal dan bertekad mewujudkan Pilpres yang jujur dan adil. Kemudian dia memerintahkan agar kepolisian dan aparat birokrasi bersikap netral, serta membebaskan masyarakat untuk memilih sesuai dengan kehendaknya. Bahkan jauh lebih elegan bila dia mengatakan akan siap menerima kenyataan bila tidak terpilih. Maka Jokowi akan tercatat sebagai presiden yang agung di akhir masa jabatannya.
Sikap keteladanan dan kepahlawanan inilah yang hilang, sehingga terjadilah Pemilu yang paling buruk karena muncul anomali di mana-mana. Kegaduhan politik semakin ramai, konflik antara kelompok masyarakat semakin sulit didamaikan, penghancuran terhadap lawan politik semakin mengerikan. Itulah ongkos yang harus dibayar ketika Petahana sudah tidak memberi keteladanan bagi Pilpres yang jujur dan adil.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net