Generasi Islam, Generasi Pemenang

Generasi Islam, Generasi Pemenang

Generasi Islam, Generasi Pemenang
Ilustrasi anak-anak muslim sedang mengaji. (Foto: Weheartit.com)

Suaramuslim.net“Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Quran) dan agama yang haq (benar), untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya.” (QS At-Taubah: 33)

Jika Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan Islam sebagai pilihan terbaik kehidupan manusia, maka seharusnya umat Islam percaya diri bahwa hakikatnya ia sudah terlahir sebagai pemenang. Menjadi umat pemenang adalah pilihan Allah SWT untuk kita sebagai muslim. Tidak sekadar memilih, bahkan Allah telah menyediakan piala abadi sepanjang masa berupa kehidupan surga yang indah dengan segala isinya, sekali lagi hanya tersedia untuk kita sang pemenang.

Setiap anak manusia secara fitrah juga terlahir sebagai pemenang. Karena ia telah mengalahkan jutaan benih calon manusia yang dihadirkan Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda:

“Tidaklah seorang itu dilahirkan melainkan ia telah berada di atas fitrah, maka Ayah dan Ibunya yang menjadikan ia Yahudi ataupun Nasrani ataupun Majusi.” (HR Bukhari)

Menghadirkan generasi pemenang memang bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan perjuangan, pengorbanan dan memerlukan proses pembelajaran berkesinambungan yang utuh dan tidak boleh terputus mata rantai tiap tahapannya. Apalagi dengan globalisasi zaman seperti saat ini, semakin banyak tantangan yang menguji nyali kita sebagai pendidik dan orang tua.

Menurut tokoh aliran Constructivism, yang cukup lekat dengan nama pemikir Swiss Jean Piaget dan psikolog Rusia Lev Vygotsky, proses belajar manusia itu adalah proses pembangunan diri. Ibarat tanaman, dia butuh lahan yang subur, kaya zat hara, air cukup, dan petani yang sabar merawat agar dia bisa tumbuh menjadi dirinya sendiri secara sempurna, tidak dibonsai, dan tentu saja tidak berubah menjadi tanaman lain.

Sekolah merupakan ladang yang subur untuk menyemaikan benih-benih pemenang untuk peradaban umat. Mengapa tidak? Bahkan jika kita menjadikannya mesin pencetak pemimpin bangsa di masa depan, sekolah juga layak.

Namun, bukan sekolah semisal tempat paket pembelajaran yang sudah baku yang ditentukan oleh sekolah (sebagai otoritas pendidikan), diawaki oleh para guru. Menu pembelajarannya baku, standard dan all sized yang mengharuskan para siswanya tunduk, patuh mengikuti menu yang ada.

Meski nampaknya ada alternatif-alternatif yang dituju, ia hanyalah variasi menu belaka. Sehingga out put dari sekolah semacam ini bukanlah sang pemenang yang tercetak, tapi generasi diktean yang pasrah tanpa kreativitas, tanpa inovasi dan tanpa daya juang. Ini sangat tidak kita harapkan.

Bersekolah tidak hanya mengejar nilai akademis semata, tapi bagaimana penekanan pencapaiannya didasarkan pada motivasi generasi pemenang yang diharapkan Allah SWT. Bukan pula untuk menuju lapangan pekerjaan industri yang menjadikan mental manusia sebagai robot pekerja, namun lebih ditekankan bahwa keridaan Allah SWT atas hasil usahanya adalah untuk kemenangan dan kemaslahatan umat.

Intinya, kita perlu generasi pemenang yang tidak hanya kaya ilmu, kaya harta, kaya jasa tapi juga kaya iman. Klasifikasi yang terakhirlah yang menjadi tumpuan pijakan utamanya.

Temuan-temuan para pakar neurosains yang telah menjelaskan bahwa ada jendela periode sempit yang krusial dalam rentang panjang kehidupan manusia. Yaitu, periode “golden ages”, periode usia dini, yang di dalamnya 80 persen struktur otak manusia sudah selesai dibangun. Mengoptimalkan perkembangan anak pada masa ini tentulah sangat dianjurkan. Ibu adalah madrasatul ula (sekolah pertama) yang bertindak sebagai kunci utama pada masa ini bagi putra-putrinya calon sang pemenang, didukung keluarga, lingkungan dan berikutnya sekolah.

Jelas, kita tidak bisa bergerak sendiri untuk dapat menghadirkan sebuah generasi pemenang. Karena benih pemenang yang sudah tertanam diladang subur, terkadang mengalami gangguan-gangguan dari hama perusak, tangan jahil yang tidak bertanggung jawab, bahkan cuaca yang tidak menentu.

Maka sebagai petani, kita harus bergotong royong, bersama-sama memelihara. Bekerjasama dengan penghasil pupuk agar mampu memberinya pupuk terbaik, bekerjasama dengan penghalau serangan hama, serta dengan cara-cara maksimal yang kita kerahkan semaksimal mungkin, agar benih pemenang kita akan tetap menjadi benih pemenang, tumbuh subur dan mampu memberikan manfaat terbaik untuk umat.

Di sinilah peran pentingnya, sekolah adalah salah satu lahan subur untuk memroses program pembentukan sang pemenang, keluarga adalah pemelihara terbaik agar sang pemenang terus mendapatkan cinta dan dukungan, sedangkan lingkungan akan memberikan pembelajaran bahwa di sinilah mereka diberikan kesempatan mengaktualisasikan diri.

Bahkan mengujicobakan bagaimana tempaan sekolah dan keluarga terhadap sang pemenang selama ini. Sehingga muncul keberanian dan kepercayaan diri, bahwa mereka benar-benar layak diakui sebagai generasi pemenang.

Prinsipnya, cintailah anak-anak dengan cara memastikan mereka tumbuh di tempat-tempat yang memuliakan mereka. Tempat-tempat yang mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh fitrah mereka. Bukan tempat sempit yang tidak memberikan ruang gerak pada mereka.

Berikan bekal terbaik, dukungan terbaik, tumbuhkan kepercayaan dirinya hingga pada masanya ia benar-benar menjadi sang pemenang yang siap menempuh kehidupan sebagai umat terbaik dizamannya. Umat terbaik yang diharapkan Allah SWT dan Rasul-Nya, generasi yang layak diakui sebagai Sang Pemenang.

Penulis: Ratna Yuliati, S.Psi*

*Daiyah di Rutan Perempuan Klas IIa Surabaya

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment