Suaramuslim.net – Zakat dan haji merupakan satu kesatuan bagi mereka yang mampu (kaya). Tidak boleh ada penundaan kecuali alasan yang masuk akal. Nah, bagaimana jika orang tidak mampu kemudian dihajikan dengan hasil pengumpulan zakat? Apakah orang yang tidak mampu ini dalam kondisi ini jadi terangkat rukhsahnya?
Mengingat sebuah ayat tentang pembagian zakat. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS At Taubah: 60)
Jika ada pengumpulan zakat kemudian diperuntukkan untuk biaya haji bagi yang tidak mampu berhaji apakah diperbolehkan? Artinya orang fakir yang tidak mampu berhaji namun ada lembaga zakat atau pengurus zakat yang berinisiatif menggunakan zakat untuk menghajikan orang fakir tersebut. Di sinilah letak permasalahan. Mengingat fakir memang tidak ada kewajiban untuk berhaji.
Sebelum menginjak ke permasalahan di atas, alangkah baik jika mengetahui sekelumit tentang zakat. Zakat memiliki peran dan fungsi untuk membersihkan dan mensucikan harta serta diri seseorang yang memiliki harta. Mereka yang masuk kategori orang berada atau mampu untuk diberikan kepada orang yang tidak mampu. Fungsi ini bisa juga ke arah mengurangi adanya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Jika pemisah antara keduanya terlalu lebar tentu akan menimbulkan kecemburuan sosial. Efeknya tidak baik bagi pergaulan dan rawan menimbulkan konflik.
Indikator di atas terdapat di firman Allah SWT,”Dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu. Bagi orang miskin yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak meminta-minta).” (QS Al Ma’arij: 24-25). Juga terdapat di firman Allah swt yang lain,”Agar harta itu tidak hanya berputar di antara orang-orang kaya saja daripada kamu sekalian…” (QS Al Hasyr: 7)
Kemudian dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muttafaqun Alaih dari Ibnu Abbas, ”….beritahukan mereka, bahwa Allah mewajibkan terhadap mereka akan zakat, yang diambilkan dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di antara mereka.”
Dalam pengorganisasian zakat untuk dapat tercapainya tujuan pembagian zakat pada sasaran dhuafa dari agniya diperlukan petugas pelaksana yang betul-betul mau bekerja dengan baik. Untuk mencapai ke arah sana diperlukan adanya dana. Maka Maha Bijaksana Allah SWT dalam menetapkan jenis-jenis sasaran zakat seperti tersebut dalam surat At Taubah ayat 60 yang termasuk di dalamnya ‘Amilin, yaitu para petugas zakat sebagai petugas pengumpul dan pembagi zakat (Fatwa-Fatwa Tarjih: Tanya Jawab Agama 2).
Persoalan dhuafa (orang-orang lemah) baik lemah secara materi, fisik, mental dan spiritual menjadi permasalahan di masyarakat yang dalam penanganannya memerlukan dana. Jumlahnya tidaklah kecil. Bahkan tidak sekadar dana saja yang dibutuhkan. Dana hanya solusi dari kesekian dari berbagai solusi yang ada. Maka di dalam klasifikasi yang berhak menerima zakat adalah sabilillah, semua usaha yang membawa kesejahteraan agama dan umat yang meliputi jiwa, harta, pikiran dan keturunan. Seluruh komponen tersebut harus tercukupi. Peniadaan kepada salah satu bisa menjadi ketimpangan tersendiri.
Sedang yang termasuk kriteria dhuafa spiritual adalah mualaf. Mereka yang baru masuk Islam tentu masih lemah dalam iman. Jika tidak ada pendampingan secara khusus akan mudah goyah untuk kembali ke agamanya yang lama. Pendampingan di sini bisa secara materi atau non materi. Secara materi, mualaf ada yang diusir dari rumahnya. Sehingga bisa saja secara finansial membutuhkan uluran tangan. Secara non materi, mungkin mereka yang baru masuk Islam kuat secara ekonomi. Namun untuk pendampingan secara berkesinambungan membutuhkan biaya tersendiri. Misal pengadaan buku-buku, kajian dan pembentukan komunitas mualaf juga butuh biaya tersendiri.
Dhuafa materi adalah ibnus sabil (orang yang sedang melakukan perjalanan dan kehabisan bekal untuk meneruskan perjalanan), gharimin (orang yang berhutang dalam kebaikan dan dia tidak ada kemampuan untuk mengembalikan) dan riqaab (hamba sahaya atau budak). Kemudian yang terakhir dan sangat memerlukan santunan karena umumnya menderita segalanya, baik materi, fisik dan mental ialah fuqara dan masakin.
Ketetapan bahwa zakat untuk golongan tersebut merupakan ketentuan Allah yang perlu mendapat perhatian, dengan melihat akhir ayat itu yang berbunyi,”Faridhatan minallah, wallahu ‘alimun hakim,” artinya sebagai,”Ketetapan bagi Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Pembagian zakat dengan adanya beberapa golongan tersebut kemudian meniadakan bagian golongan yang lain, haruslah karena tidak adanya golongan tersebut. Tidak bisa dibenarkan jika satu golongan diutamakan sedangkan golongan yang lain dipinggirkan. Boleh saja difokuskan untuk golongan tertentu atau beberapa golongan saja kalau memang golongan yang lain tidak ada.
Dengan demikian pengumpulan zakat untuk seseorang atau beberapa orang untuk biaya haji kurang sesuai dengan makna nash. Kalaulah yang dimaksudkan yang bersangkutan digolongkan fakir dan miskin, maka penggunaannya bukan untuk melakukan ibadah haji, karena yang bersangkutan tidak berkewajiban untuk melakukan ibadah haji. Syarat utama melakukan ibadah haji bagi mereka yang mampu. Jika masih dalam kategori miskin apalagi fakir maka batal kewajiban untuk berhaji.
Kalaulah dimasukkan pada sabilillah, lapangan sabilillah yang lebih memerlukan tentu lebih banyak. Seperti penuntut ilmu yang membutuhkan biaya dalam bentuk beasiswa. Para dai atau mubaligh yang terjun ke medan dakwah pelosok atau kaum marjinal. Mereka yang lebih berhak dalam kategori sabilillah.
Di sisi lain, pemusatan pembagian zakat pada satu atau beberapa orang, menghilangkan golongan penerima zakat yang lain untuk mendapatkan santunan dari uang zakat yang prinsipnya merupakan manifestasi dari hukum Islam yang salah satu tujuannya ialah untuk melaksanakan keadilan sosial. Sebaliknya juga kurang dapat dibenarkan pemusatan zakat untuk satu keperluan misal pendirian masjid saja sedang sekeliling masjid masih banyak fakir miskin yang memerlukan santunan.