Suaramuslim.net – Mengajari membaca Al Quran kepada anak sejak dini adalah kewajiban orang tua. Dengan begitu, dia akan menemukan arah langkah yang jelas dan selalu berada dalam bimbingan-Nya, seperti kisah seorang anak bernama Toda yang ingin sekali belajar membaca Al Quran dan seorang ayah yang berusaha untuk menuntun anak semata wayangnya untuk mencintai Al Quran.
Di bulan Ramadan hari ke-5, di saat warga desa telah usai melaksanakan salat tarawih. Toda, anak lelaki yang kini baru menginjak usia 10 tahun itu ikut ayahnya untuk langsung pulang. Mereka hanya tinggal berdua di rumah yang cukup sederhana di pinggiran sungai. Sebab, sang ibu telah meninggal saat dia berumur sembilan bulan.
Malam itu bulan purnama yang ke sekian, biasanya kampung itu langsung sepi tatkala warga desa kembali ke rumah usai salat tarawih, hanya lantunan Al Quran yang terdengar cukup nyaring melalui toa surau yang dibacakan oleh anak-anak desa secara bergiliran. Selain itu, hanya bunyi jangkrik yang bersahut-sahutan, juga suara burung hantu yang sedang kawin.
Malam itu Toda sangat lelah, karena menjelang berbuka tadi dia sempat bermain bola dengan kawan-kawannya. Dan kini, dia terbaring di atas dipan bambu yang nampak sudah reot dan tua di kamarnya, bersiap untuk memejamkan mata dan tidur.
Lampu di rumahnya hanya ada tiga, di teras depan rumah, ruang tengah, dan dapur. Selebihnya, menggunakan ublik yang ditempelkan di dinding-dinding yang terbuat dari anyaman bambu.
Ada alasan mengapa Toda lebih memilih untuk langsung pulang ketimbang berkumpul bersama kawan-kawannya untuk kemudian mengikuti tadarus Al Quran. Di samping badan yang lelah, dia kurang bisa membaca Al Quran, masih terbata-bata lebih tepatnya. Daripada membaca dan banyak salahnya dan menimbulkan kesalahan fatal, dia memutuskan untuk tidak tadarusan bersama kawan-kawannya, walaupun kawan-kawan Toda bersikukuh untuk mengajakanya tadarus. Namun dia nampak bergeming, dan bilang bahwa dia lelah hari ini.
Belum sampai tertidur lelap, Toda mendengar lantunan Al Quran yang dilantunkan oleh bapaknya di ruang tengah, sembari ditemani oleh lampu yang mulai meredup. Suaranya agak tersamarkan oleh suara Toa surau. Tapi dia tetap bisa mendengar lantunan ayat suci dari bapaknya dengan jelas. Jika bisa diibaratkan, lantunan ayat suci Al Quran oleh bapaknya itu layaknya suara, nada, dan irama Syekh Mishary Rasyid, merdu meneduhkan hati.
Maklum, semasa masih kanak-kanak hingga remaja, bapak Toda pernah mengaji kepada kiai yang cukup masyhur di desa. Banyak anak desa yang berguru kepada kiai tentang Al Quran dan berbagai ilmu agama, mulai dari ilmu balaghah, tarikh, aqidah, hingga tauhid. Warga desa pun takzim pada beliau tatkala memberikan tausiyah atau sekadar berpapasan dengan warga. Tapi, kiai itu telah meninggal pada saat Toda berumur satu bulan.
Toda mendengarnya dengan khusyuk, sembari memejamkan mata. Sementara rembulan menyirami setiap sudut desa dengan cahayanya yang semakin menyala. Angin malam berhembus dari barat, melewati celah-celah ventilasi rumah, mengisi setiap ruang dan sudut rumah.
“Wa laqad yassarnal qur’aana lidzikri fa hal mim muddakir”.
Di saat ayat itu dibacakan, Toda tiba-tiba terbangun. “Mengapa ayat itu diulang empat kali?” ucap batinnya. Dia pun segera menemui bapaknya yang kini membaca surat al-Qamar.
“Pak, Toda ingin belajar membaca Al Quran dengan bapak.” Bapak Toda cernenung, menatap Toda dengan penuh heran.
“Ambil wudu, lalu kemarilah.” Toda bergegas mengambil air wudu dan memakai sarung.
Mereka kini berhadap-hadapan. Sebelum memulai belajar membaca Al Quran, Toda dinasihati bapaknya.
“Nak, sebelum kamu belajar membaca Al Quran, bapak berpesan, kalau ngaji Al Quran itu yang sungguh-sungguh. Sebab Al Quran itu kalau tidak syafaat, ya laknat.” Jelas bapak Toda. Dahi Toda nampak terlipat, mencoba untuk memahaminya.
“Pilihannya ya cuma dua itu, Nak, tidak ada pilihan lain.”
“Maksud Bapak bagaimana? Toda kurang paham.”
“Maksud bapak adalah, jika Al Quran yang kini ada di depanmu tidak kamu baca dan amalkan dalam hidupmu, maka kamu akan kehilangan arah langkah atau petunjuk hidupmu Nak. Sebab, Al Quran ini layaknya buku panduan mesin jahit ibumu, menurutmu jika buku itu tidak dibaca dan dicermati isinya, apa yang akan terjadi?” Bapak Toda mencoba untuk memberikan pertanyaan.
“Ya Ibu pasti tidak akan tahu dan bingung bagaimana cara menggunakannya.”
“Betul Nak, ibumu pasti tidak akan tahu dan tak mengerti bagaimana cara penggunaannya, terlebih tidak dibaca sama sekali, alias langsung dipakai semaunya saja, jelas akan menimbulkan kekacauan nantinya. Hal ini sama seperti Al Quran Nak, jika Al Quran tidak dibaca, ditadaburi isinya untuk kemudian diamalkan, niscaya kita akan bingung dan tak tahu kemana langkah ini musti menuju.” Toda mendengarkan dan mencermati perkataan bapaknya.
“Tapi nak, jika Al Quran ini kamu baca, tadaburi isinya dan kemudian kamu amalkan dalam kehidupan sehari-hari, niscaya dengan seizin-Nya, hidupmu akan tenang, damai, dan terarah Nak. Sebab, kamu dibimbing langsung oleh Allah dan mendapatkan syafa’at dan pertolongan di alam kubur hingga kelak di hari akhir.” Toda nampak takzim mendengar perkataan bapaknya. Kepalanya mengganguk-angguk tanda paham.
“Baiklah mari kita mulai mempelajari Al Quran.” Bapak Toda membuka surat Al-Fatihah.
“Nak, Al Quran itu hurufnya ada empat: ق،ر،ان.”
“Pertama Qaf. Sifatnya qalqalah, artinya guncang. Setiap orang yang menempuh jalan untuk menjadi ahlul Quran akan diuji Gusti Allah dengan cobaan-cobaan yang menggonjang-ganjingkan hidupnya, maka di sinilah ujian terberatnya. Siapa saja yang dapat memelihara istiqamah di dalam hati, maka Dia akan melimpahkan cinta-Nya pada hamba-hambaNya yang teguh dalam mempertahankan keimanan dan taqwa dalam hatinya.”
“Kedua Ra’. Sifatnya takrir, artinya mengulang-ulang. Meskipun kamu ditimpa cobaan yang bertubi-tubi, lantas kamu terpuruk. Maka sesekali jangan pernah berhenti membaca Al Quran. Oleh karena itulah, Al Quran menjadi penolong dalam hidupmu yang penuh dengan ujian dan coba’an dari-Nya. Sebab, Al Quran itu harus selalu dibaca berulang-ulang meskipun kamu telah khatam berkali-kali.”
Toda masih memperhatikan bapaknya dengan khusyuk, meski corong Toa surau tidak lagi melantunkan ayat-ayat suci, dan malam pun semakin larut.
“Lalu ketiga Hamzah. Sifatnya syiddah, berarti kuat. Maksudnya, kamu harus benar-benar kuat menjaga Al Quranmu dengan membacanya lagi dan lagi, setiap hari, minimal usai salat maghrib dan shubuh. Meskipun hidupmu digonjang-ganjingkan masalah yang tak berkesudahan.”
“Dan yang terakhir Nun. Sifatnya idzlaq, artinya ringan. Insyaallah Nak, kalau kamu kuat dan sabar atas segala cobaan yang mengguncang jiwa dan ragamu kelak, jangan sesekali lari dan meninggalkan Al Quran. Teruslah berusaha untuk istiqomah di jalan-Nya dalam segala hal baik yang mendatangkan ketenangan dalam hatimu, insyaallah hidup-matimu akan terasa ringan, seringan mulutmu saat mengucap nun…”