Suaramuslim.net – Mengawali artikel ini, saya teringat akan firman Allah SWT, “Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati” (surah ali Imran ayat 185). Dr Muhammad mursi meninggal di usia yang ke 67 tahun, usai menjalani sesi persidangan. Semasa hidupnya, majalah TIME edisi Desember 2012 menyebut Mursi sebagai “the Most important Man in the Middle east”.
Berkaitan dengan judul artikel ini bisa saja saya menjawab dalam satu paragraf. Namun setelah dicermati lagi, ada tiga penyebabnya. Pertama, latar belakang keislaman presiden. Kedua, pengaruh presiden terhadap institusi miiternya. Ketiga, sikap negara adidaya dan sekutunya (Saudi).
Dari segi latar belakang presiden, almarhum Mursi cukup kental aura keislamannya. Walau beliau ini menempuh jenjang doktoral di Amerika Serikat. Hafal Quran, tercatat pernah mengirim bantuan kemanusian hingga ke Aceh. Aura keislaman partai pengusungnya serupa dengan PKS dan Hamas.
Sementara Erdogan ini lain. Beliau bukan penghafal Quran. Aura keislamannya biasa saja. Partainya masih membawa-bawa sosok Kemal Attatturk. Mirip mantan Presiden Megawati yang membawa-bawa nama dan kharisma bapaknya. Hal-hal seperti ini takkan luput dari sorotan negara adidaya.
Terkait hafal Quran, pemimpin dunia yang juga penghafal Quran adalah Perdana Menteri Hamas, Ismail Haniya. “Bahkan anaknya yang bernama Aid berhasil menyempurnakan hafalannya dalam 35 hari dan memperoleh gelar mumtaz,” tulis laman republika.co.id (25/6/2012)
Selanjutnya pengaruh di institusi militer. Sama-sama politisi berlatar sipil. Namun, almarhum Muhammad Mursi belum mencengkeram dengan baik institusi militernya. Hasilnya mudah dikudeta oleh fraksi Jenderal Abdul fattah al Sisi. Adapun Erdogan mampu menggagalkan percobaan kudeta yang pernah menimpa dirinya. Bahkan ribuan rakyat berada dipihaknya.
Hal seperti ini perlu menjadi pembelajaran bagi politisi sipil. Mau berkuasa melalui demokrasi (pilpres), monarki bahkan khilafah sekali pun wajib hukumnya punya pengaruh kuat di institusi militer.
Peran negara adidaya tak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi di negara yang mayoritas muslim. Jika tak mampu menjatuhkan dengan huru hara massa, krisis moneter (kasus lengsernya pak Harto), maka lewat jalur kudeta. Jika kudeta tak berhasil, bisa melalui pembunuhan, entah ditembak, diracun atau seolah-olah mengalami kecelakaan.
Muhammad Zia ul Haq adalah contoh nyata bagaimana hidupnya harus berakhir karena pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Menurut Kepala ISI Biro Afghanistan, Mohammad Yousaf, kecelakaan itu terjadi karena sabotase. “Ia mengaku tak tahu siapa yang bertanggung jawab, namun Yousaf menegaskan Kementerian Luar Negeri AS berperan dalam ‘menutupi’ kasus ini,” tulis laman Liputan6.com (10/9/2018).
Presiden Erdogan mampu bertahan sampai detik ini karena kelihaiannya menyiasati “kehendak” Rusia, Amerika serikat dan sekutunya. Sementara almarhum Muhammad Mursi belum mampu seperti itu.
Perlu diketahui juga, Mursi dengan Ikhwanul Muslimin (IM) dipandang sebagai “pesaing” ideologi oleh kerajaan Arab Saudi. Akibatnya respon Saudi amat lain untuk kasus Mursi.
Pertama, ketika terjadi kudeta, Raja Abdullah menjadi pemimpin negara pertama yang menyatakan dukungannya pada kudeta.
Dalam skripsinya yang berjudul “Dukungan Arab Saudi terhadap kudeta yang dilancarkan militer Mesir kepada Muhammad Mursi 2013” (UMY, 2016), Intan Parceka menyebut “Arab Saudi memberikan dukungan baik moril maupun materil. Ia dan sekutunya berjanji akan menyumbang dana sebesar 12 miliar dollar AS, angka itu delapan kali lebih besar dari bantuan rutin AS ke Mesir setiap tahun“.
Kedua, Arab Saudi di hari wafatnya Muhammad Mursi masih sempat-sempatnya merilis infografik bahwa IM adalah organisasi teroris yang bekerja untuk merusak Islam. Lain dengan sikap Pemerintah Turki. Erdogan berkomentar, “Muhammad Mursi berjalan untuk bergabung dengan Tuhan selama persidangan. Apakah ini berjalan normal, atau ada beberapa kondisi lain? Ini adalah sesuatu hal untuk dipikirkan,” kata Erdogan seperti dikutip dari Liputan6.com (19/6/2019). Dia melanjutkan: “Saya tidak percaya bahwa ini adalah kematian normal (alamiah).” Erdogan juga mengkritik pihak berwenang di Mesir karena tidak mengizinkan Mursi dimakamkan di pemakaman keluarga di kota kelahirannya.
Terakhir sebelum menutup artikel ini, selamat jalan Muhammad Mursi, semoga istri dan anak-anak anda diberikan ketabahan. Insyaallah, rakyat Mesir di masa mendatang akan dipimpin sosok mursi-mursi lainnya. Wallahu a’lam.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net