Suaramuslim.net – Jelang ashar, saya mengantar Kiai Achmad Bajuri ke terminal Bayuangga, Kademangan, kota Probolinggo. Dalam perjalanan kami ngobrol berbagai hal, mengenal lebih dalam tentang latar belakang beliau. Paham keagamaan Nahdlatul ulama (NU) dibanding FPI dan Hizbut tahrir, termasuk jatah kursi Menteri yang akan didapat NU di pemerintahan Jokowi (periode ke-2).
Awalnya saya kira Achmad Bajuri lahir dan menjalani masa kecilnya di Kebumen, Jawa tengah. Ternyata, beliau lahir di desa Sidonganti, kecamtan Kencong, Jember. Putra H. Mahmud ini pada tahun 1956-1961 menimba ilmu Agama di Pesantren al-Falah Ploso, Kediri. Lalu melanjutkan ke pondok Al Anwar Sarang, Rembang, Jawa tengah. “Saya memanggil Maimun Zubair itu Gus“. Kisah mondok di Sarang ini baru saya dengar dari pengakuan beliau saat datang ke rumah ibu mertua 6 Juli yang lalu. Tentu perlu tabayyun kepada Mbah Mahlani, kakak beliau yang pergi mondok juga ke Kediri.
Selesai mondok, diangkat menjadi menantu oleh pamannya yakni Kiai Syarif. Baru beberapa hari menikah, diminta mengajar hadis dan fikih di lembaga pendidikan yang dirintis bapak mertuanya. Menikah dengan Musyarofah, beliau dikaruniai 5 anak, 4 perempuan, dan 1 laki-laki. Sayangnya, anak laki-laki satu-satunya yang beliau miliki meninggal dunia pada bulan Maret 2017.
Dari kelima anaknya, beliau dianugerahi tujuh orang cucu, 2 cucu laki-laki dan 5 cucu perempuan. Cucu tertua alumnus Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Sementara cucu termuda berusia sekitar 3 tahun. Hingga tulisan ini terbit, dua cucu perempuannya masih menapaki jenjang Perguruan tinggi di Institut Al Falah As-Sunniyyah, Jember dan Unmuh Malang.
Dari penuturan salah satu putrinya, beliau aktif di organisasi Jam’iyyah Ahli Toriqoh Mu’tabaroh Indonesia atau JATMI. Ketua JATMI yang sekarang KH. Muhammad Tauhid. JATMI lain dengan JATMAN. Sekalipun sama-sama mewadahi pengamal tasawuf, JATMAN yang dipimpin Habib Luthfi diakui PBNU, sementara JATMI tidak dianggap keberadaannya.
Achmad Bajuri merupakan sosok yang tidak bisa diam di rumah. Beliau suka rihlah keluar kota, mengunjungi kolega-koleganya di Jombang, Malang, Semarang, Pati dan Jakarta. Di DKI Jakarta, Kiai Bajuri berkawan dengan Limbad (Pesulap). Oleh limbad diberi beberapa cincin akik.
Dalam hal orientasi politik, belum jelas Partai politik mana yang pernah beliau coblos. Namun, dalam Pilgub DKI Jakarta beliau condong kepada Agus Harimurti Yudhoyono. Ketika KH. Ma’ruf amin maju mendampingi Joko widodo, dukungan politiknya tidak jelas. Entah mendukung paslon 01 ataukah justru golput.
Di Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember sosok Achmad Bajuri tidak setenar KH. Djauhari zawawi (Pendiri Pondok pesantren As-Sunniyyah) dan Kyai Abdul Chayyi. Oleh karena itu, dapat digolongkan sebagai “kiai kampung”. Sebutan yang dipopulerkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus dur).
Mengapa disebut kiai kampung? pasalnya Kiai Bajuri tidak memiliki dan mengasuh sebuah pondok pesantren, akan tetapi beliau menghidupkan syiar keislaman di Masjid Al-Huda yang terletak di depan rumahnya. Menjadi khatib sholat Jumat, mengadakan tradisi tahlilan, yasinan, dan istighosah.
Akhir kata, meski berumur 75 tahun lebih, akan tetapi beliau punya kebiasaaan buruk yang tidak bisa ditinggal. Apakah itu? Merokok. Bertamu merokok, menunggu kedatangan bis di terminal merokok, bahkan berkebun di rumahnya juga sambil menghisap rokok. Hanya satu impian beliau yang belum terwujud, menunaikan ibadah haji Ke Mekkah.* Wallahu a’lam bishawwab.
*Opini yang terkandung dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial suaramuslim.net.