Suaramuslim.net – Ayah, dalam mengemban amanat mendidik anak ini, janganlah engkau berpikir tentang hasil akhir dari usahamu mendidik. Lakukan apa yang seharusnya kamu lakukan sesuai dengan tuntunan dan serahkanlah hasilnya pada Allah Yang Maha Pendidik.
Pengalaman ketika anak-anak kami memasuki usia balig dan beberapa tergolong dewasa, kami sempat merasa saatnya untuk “istirahat” mendidik anak. Merasa sudah cukup membekalinya dengan ilmu agama, sarjana, sudah bekerja dan sudah mendapatkan jodoh, lalu menikahkannya.
Kami berasumsi, dengan bekal itu mestinya sudah bisa mandiri dalam ibadah ritual, spiritual, finansial mapun kiprah sosial. Mestinya tidak perlu lagi membangunkan utuk salat tahajud dan Subuh. Atau untuk salat lima waktu di awal waktu dan amal ubudiah lainnya.
Harapan itu sepertinya wajar dan tidak berlebihan, karena kami telah menyekolahkan anak-anak semua di Islamic fullday school, yang sangat ketat mendampingi anak dalam beribadah, bina ruhiah dan akhlak mulia, selain pelajaran akademik. Dan untuk itu kami rela membayarnya dengan cukup mahal.
Seiring dengan itu kami ketat mengawalnya dengan gaya hidup sederhana di rumah. Juga dengan tradisi mengaji (tadarus) dan salat berjemaah. Sekilas, cukuplah menjadi alasan bagi kami untuk melepas diri mengambil waktu jeda dari urusan pendidikan anak sehari-hari.
Sebagai ayah enam orang anak, semula saya berharap akan selesai tugas pendampingan ketika anak beranjak dewasa, setelah mereka mulai kuliah atau berkeluarga. Tetapi nyatanya tidak demikian.
Belakangan kami menyadari bahwa harapan itu ternyata salah, tidak boleh ada jeda dalam mendidik anak. Pendampingan itu berlaku sepanjang usia, tak ada jeda apalagi berhenti. Pendampingan juga menyentuh hal-hal yang sangat teknis dan rutin, seperti salat tepat waktu, tertib jamaahnya dan rutin tradisi mengajinya serta anjuran untuk selalu menambah ilmu dan pengalaman.
Kesadaran itu semakin mendalam ketika belajar dari banyak orang tua yang anak-anaknya menoreh prestasi hebat, baik dalam ekonomi, akademik maupun kiprah sosial dan pergerakan dakwah. Mereka itu ternyata terlahir dari orang tua yang all-out mendidik anaknya sepanjang hayat. Semakin menyadarkan kami bahwa apa yang kami lakukan tidak ada apa-apanya dibanding dengan ayah-ayah pendahulu kita.
Keluarga Abdul Kadir Baraja misalnya, tergolong keluarga yang sukses, dalam banyak bidang kehidupan. Ketujuh bersaudara putra Baraja itu tidak hanya sukses dalam prestasi akademik dan kehidupan bisnis, tetapi juga militan dalam pergerakan. Maksudnya, kemuslimannya tidak hanya untuk ritual, kepuasan individual dan status sosial, tetapi mempunyai pemihakan pada urusan dakwah dengan peran yang signifikan.
Selayaknya, kita ingin tahu, bertanya dan belajar bagaimana cara Abah Baraja mendidiknya?
Di sekitar kami ada tokoh ayah yang juga mempunyai komitmen mendidik anak sepanjang hayat. Pemihakannya dalam dakwah dan pendidikan serta memakmurkan masjid tak perlu diragukan lagi. Karena sehari-hari beliau sebagai takmir masjid dan pengurus Yayasan Pendidikan Islam. Rajin salat berjemaah lima waktu di masjid, dan terlibat aktif dalam kebersihan, tertib jemaah dan ikut mengatur kegiatan pengajian di masjid.
Yang menarik, sebelum beliau sampai di masjid masih bisa menyempatkan waktu membangunkan anak-anaknya untuk jemaah subuh di masjid. Padahal anak-anaknya sudah berkeluarga, sudah beranak-pinak dan sudah punya rumah sendiri di sekitar kompleks masjid.
Terlepas dari berhasil atau tidaknya sang ayah membangunkan anak-anaknya untuk jemaah subuh atau tidak, itu tidak terlalu penting. Yang perlu dicatat adalah teladan bahwa tugas pendampingan ayah dalam mengawal ruhiyah dan ubudiah anak-anak itu ternyata berlaku sepanjang hayat. Tidak kenal kata pensiun, apalagi pensiun dini.