Suaramuslim.net – Firasat terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Thalib sudah dirasakan oleh banyak sahabat. Hal ini tidak lepas dari pemahaman mereka terhadap sejarah dan karakter penduduk Kufah. Yang sudah melakukan berbagai pengkhianatan terhadap Ali bin Abi Thalib dan Hasan, putranya.
Beberapa sahabat yang agung sudah melarang kepergian Husein ke Kufah. Namun, surat-surat orang-orang Kufah yang mengundang dan siap membaiat dirinya membuat tekad Husein begitu bulat untuk berangkat ke sana. Benar juga firasat para sahabat, di mana tragedi Karbala telah membuat Husein dan keluarganya terbunuh secara tragis tanpa ada pembelaan dari orang-orang yang telah menulis surat dan siap membaiatnya.
Perayaan Karbala yang dilakukan pada setiap 10 Muharram merupakan ekspresi kesedihan dan kekecewaan atas nyawa cucu Rasulullah yang hilang secara sia-sia. Sedih karena kematian Husein, kecewa terhadap nenek moyang mereka yang membiarkan Husein bin Ali bin Abi Thalib mati secara tragis.
Janji Baiat Penduduk Kufah
Keberangkatan Husein ke Kufah tidak lepas dari banyaknya surat dari penduduk Syiah yang mengundang Husein untuk dibaiat. Sebelum berangkat, beberapa sahabat besar sudah berupaya keras menghalangi keberangkatannya. Mereka sangat mengenal karakter Kufah yang dikenal mudah berkhianat, sehingga mengkhawatirkan keselamatan cucu Nabi ini.
Abdullah bin Abbas telah mencegah Husein dengan mengatakan “Andai bukan karena cercaan orang maka aku akan pegang kepalamu untuk mencegahmu ke Kufah.” Sementara Abdullah bin Umar mengejar Husein yang sudah lebih dulu berangkat menuju Kufah, dan berhasil bertemu. Abdullah bin Umar sudah membujuknya namun tak membawa hasil.
Alih-alih mengikuti nasihat, Husein justru mengeluarkan surat-surat orang Kufah untuk meneguhkan keberangkatannya. Ketika Husein bersikukuh berangkat, maka Abdullah bin Umar mengutip sebuah hadis, bahwa kakekmu (Nabi Muhammad) didatangi Jibril dan memberikan dua pilihan antara dunia dan akhirat. Namun Nabi memilih akhirat.
Abdullah bin Umar menasihati Husein bahwa kekuasaan itu urusan dunia, dan tidak perlu dikejar. Pada akhirnya Abdullah bin Umar berdoa dan menyerahkan urusannya pada Allah, kemudian memeluk Husein hingga meneteskan air mata. Namun Husein tetap pergi menuju Kufah.
Abdullah bin Zubair juga menasihati hal yang sama agar tidak ke Kufah. Abdullah bin Zubair memang tidak sepaham dengan Yazid dan tak mau membaiatnya, namun jalan yang dipilih Husein dianggap kurang tepat. Dia mengingatkan Husein bahwa orang Kufah lah yang membunuh ayahnya (Ali Bin Abi Thalib) dan saudaranya (Hasan bin Ali) dan berupaya mencegahnya. Namun Husein tetap bersikukuh berangkat ke Kufah.
Bahkan Abu Said al-Khudri juga berupaya mencegah dengan mengatakan: Ayahmu berkata bahwa dia benci orang Kufah karena mereka tidak bisa dipercaya. Nasihat terakhir disampaikan oleh Farasdaq, seorang penyair terkenal pada saat itu. Dia mengatakan bahwa hati orang-orang Kufah padamu, tetapi pedang-pedang mereka pada orang-orang Syam.
Sebelumnya, Husein mengutus Muslim bin Aqil untuk membuktikan bahwa surat dukungan untuk berbaiat kepada Husein memang benar. Namun pada akhirnya Muslim bin Aqil juga tertawan dan dibunuh karena terbukti mengumpulkan massa yang dinilai akan memberontak kepada penguasa. Sebelum terbunuh, Muslim bin Aqil menulis surat untuk disampaikan kepada Husein. Sesampai surat itu kepada Husein dan dibaca dengan dengan seksama, maka Husein memutuskan kembali ke Madinah. Namun anak-anak Muslim Bin Aqil menolak kembali dan ingin membalas darah ayahnya yang tertumpah, sehingga Husein menurutinya dan tetap berangkat ke Kufah.
Terbunuhnya Husein bin Ali di Karbala
Pasukan pemerintahan Yazid yang dipimpin Al-Hurr bin Yazid at-Tamimy yang berjumlah 1000 berupaya mencegah Husein dan memerintahkannya kembali ke Madinah dengan hormat. Namun pasukan Husein sudah sampai di Karbala. Setelah gagal mencegah, maka diutuslah delegasi pimpinan Umar bin Sa’ad bin Abi Waqqash dengan 4.000 pasukan untuk melobi Husein dan mengajak bertemu Ubaidullah bin Ziyad, selaku gubernur Kufah.
Dia memberi opsi. Pertama, pasukan Husein kembali ke Madinah. Kedua, membiarkan pasukan menuju penjaga perbatasan (membantu tentara Yazid). Ketiga, pergi ke Yazid untuk meletakkan tangannya guna membaiatnya. Husein diperintahkan untuk membuat surat ke Yazid dan Umar siap membuat surat itu untuk dikirim ke Yazid.
Tetapi atas bisikan jahat yang bernama Syamir bin Dzil Al-Jauzan, berhasil mengubah kebijakan Ubaidillah tentang tiga opsi tadi. Tiga opsi itu dianggap merendahkan gubernur. Maka Ubaidullah mengikuti pembisik itu, dan tetap menghadap Husein dan pasukannya.
Syamir akhirnya ditunjuk menjadi panglima pasukan untuk memerangi Husein dan menggantikan posisi Umar bin Abi Waqqash. Namun, Husein memperingatkan pasukan Syamir. Dari pidato Husein karena kemuliaannya berhasil keluar dari pasukan Syamir sebanyak 30 orang dan berbalik membela Husein. Salah seorang dari 30 orang itu adalah Al-Hurr bin Yazid at-Tamimy, yang sebelumnya diutus sebagai panglima untuk mencegah Husein memasuki Kufah.
Dua pasukan itu bertemu di padang Karbala. Jumlah pasukan Husein hanya 100 melawan 5000 pasukan. Hampir semua pasukan Husein terbunuh, sehingga tinggal Husein sendirian dan tak satupun pasukan Syamir berani mendekat untuk membunuh Husein. Hingga akhirnya Syamir berteriak dan mengomando pasukannya untuk segera membunuh Husein. Peristiwa itu terjadi pada 10 Muharram 61 H.
Dalam beberapa saat, maka Syamir berhasil menggerakkan Sinan bin Anas An-Nakha’i sehingga berhasil memotong kepala Husein. Setelah terpenggal lehernya, kepala Husein dibawa kepada Ubaidullah. Saat menerima kepala itu, Ubaidullah memasukkan kayu pada mulut Husein dan menghinakannya.
Apa yang dilakukan oleh kaum Syiah pada setiap 10 Muharram pada hahikatnya adalah memperingati kematian Husein. Di mana pada saat itu tidak ada pembelaan dari penduduk Kufah yang tidak lain mengundang dan siap membaiat Husein. Namun begitu Husein datang justru mereka lari dan memberi jalan bagi pasukan Ubaidullah untuk membunuhnya. Orang-orang Syiah memukul-mukul badannya dan melukainya sebagai wujud empati pada Husein yang disia-siakan oleh penduduk Kufah.
Surabaya, 10 Muharram 1441 /10 September 201920