Suaramuslim.net – Bagaimana mempertahankan eksistensi lembaga pendidikan swasta bila ia berada di lingkungan yang berbeda kultur agama? Perlukah pengelola lembaga pendidikan swasta itu toleransi, mengakomodasi bahkan inklusif terhadap sekitarnya? Di kota Malang, ada Ponpes Muhammadiyah al-Munawwaroh. Pesantren ini berada di kampung yang mayoritas berlatar NU. Namun, bukan pesantren ini yang akan saya ulas. Perlu artikel tersendiri jika membahas pesantren milik Muhammadiyah satu-satunya di kota Malang.
Pembaca saya ajak ke Mlangi, Yogyakarta. Di sana ada sekolah dasar (SD) milik Persyarikatan Muhammadiyah. Berdirinya SD ini berawal dari usul dan perjuangan almarhum Widyo Martono. “Pada Tahun 1956 resmilah menjadi SD Muhammadiyah Mlangi walaupun dengan sarana belajar apa adanya, nebeng sana sini atas kerelaan dan kesadaran warga masyarakat, dan Tahun 1968 gedung berdinding bata resmi berdiri”. Begitu tulis Bagus Adi Wijaya dalam bab IV skripsinya di program Studi PAI, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tahun 2017.
SD ini menjadi sekolah favorit. Padahal lokasinya berada di tengah-tengah penduduknya yang mayoritas adalah warga NU. Sekolah Muhammadiyah ini dikelilingi lebih dari 16 pesantren NU, TK Masyitoh, dua Madrasah Ibtidaiyah (MI) milik Pesantren an-Nasyat dan al-Falahiyah serta SD NU yang lokasinya berdekatan. Menjadi sekolah favorit di mata warga sekitar butuh perjuangan keras.
Zainal Arifin dalam Jurnal Analisa, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang, Vol. 20, No. 2, Desember 2013, menyebut pengelola SD menyiasati reaksi wali murid akan pengajaran agama yang berbeda dengan yang diajarkan di rumah. Perjuangan memberi pengertian (baca: toleransi) akan program fullday school. Program full day SD Muhammadiyah Mlangi dianggap wali murid menggganggu jadwal mengaji santri di pesantren, dan persoalan-persoalan lainnya.
Masalah pengajaran agama, SD Muhammadiyah melakukan marketing pendidikan melalui usaha akomodasi terhadap kreativitas siswa yang kadang tidak sesuai dengan misi SD Muhammadiyah Mlangi seperti shalawatan, burdah, dan terbangan. Contohnya, ketika ada hajatan Muhammadiyah, siswa SD Muhammadiyah menampilkan terbangan yang masih dianggap asing oleh warga Muhammadiyah. Kemudian praktik fullday, pengelola SD Muhammadiyah memberikan toleransi dan kelonggaran bagi siswa yang kebetulan ada kegiatan di pesantren. Biasanya, benturan ini terjadi ketika SD Muhammadiyah menyelenggarakan les sore.
Memoles citra juga dilakukan pengelola SD Muhammadiyah di Mlangi. Tetapi perlu digarisbawahi, cara memoles citranya tak seperti para politisi di ibu kota dan memoles citra sekolah tak dilakukan saat menjelang akreditasi sekolah. Menurut Zainul Arifin, Pengelola berusaha membuat SD makin berprestasi dengan menjuarai perlombaan di Yogyakarta. Berusaha membuat anak didik meraih nilai UN terbaik. Kesan sekolah bersih dan manajemen rapi juga menjadi modal utama. Sikap toleran SD Muhammadiyah ini dapat menjadi model bagi pengembangan lembaga pendidikan agar semakin dipercaya oleh masyarakat yang berbeda teologi/kultur agama.
Semoga cara SD Muhammadiyah Mlangi bisa menjadi inspirasi bagi pengelola di berbagai sekolah Muhammadiyah lain. Wallahua’llam.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net