Suaramuslim.net – Sebelum dan sesudah kemerdekaan bangsa ini, telah terbit berbagai Majalah Islam. Majalah-majalah ini mengalami pasang surut. Majalah Islam boleh-boleh saja mengklaim tertua dan masih eksis. Contohnya adalah Suara Muhammadiyah. Majalah ini mendapat piagam Museum Umum Rekor Indonesia (MURI). Tetapi sayangnya belum bisa mengalahkan majalah tersohor seperti Majalah Tempo. Majalah besutan Goenawan Mohamad dan Bambang Harymurti ini punya kelebihan dalam 3 aspek.
Pertama, Tempo sudah melantai di Bursa Efek Jakarta. Kedua, pelayanan awak media Tempo jauh lebih baik. Misalnya tak perlu lagi penulis menagih honorarium dan minta salinan atau arsip versi digital. Ketiga, pengaruh headline dan sampul Tempo cukup membuat buzzer dan pendukung presiden terpilih jadi murka.
Kalau dari segi seberapa laku, Suara Muhammadiyah jelas mudah laku daripada Tempo. Sejumlah Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) diwajibkan berlangganan. Itu baru majalah Suara Muhammadiyah, belum lagi Majalah Matan, Majalah Walida dan Majalah Tabligh yang sejumlah pengurus cabang dan daerah didorong untuk berlangganan. Ibu mertua saya sebagai pengurus Cabang ‘Aisyiyah Kanigaran diwajibkan berlangganan Majalah Walida.
Di luar majalah milik Muhammadiyah, ada majalah Hidayatullah. Sayangnya, majalah ini mulai susah didapat di lapak-lapak atau agen majalah di kota Malang dan Batu. Dijual di kisaran harga Rp29.500 dan Rp31.500 untuk luar Jawa. Saya berhenti membeli pada tahun 2011. Harga yang tak murah bagi sebagian umat.
Ormas Hidayatullah saya ketahui juga menerbitkan majalah Karima dan majalah Mulia. Majalah Karima fokus ke tema “parenting nabi.” Sementara itu, majalah Mulia isinya pemikiran keislaman secara umum. Majalah Mulia tersedia versi digitalnya dan bisa diunduh gratis.
Selanjutnya ada majalah kebanggaan warga NU. Majalah Aula, Majalah Sidogiri, Majalah Langitan hingga Majalah Tebuireng. Keempat majalah ini “tertutup” bagi penulis atau kontributor yang bukan berlatar NU. Peredarannya juga terbatas di Jawa Timur. Selain itu, lemah juga di ranah pengarsipan. Saya pernah meminta hardcopy dan versi digital majalah Sidogiri edisi “Menyikapi Mitologi Gus Dur” (2015). Kata salah satu awak medianya, tidak punya satu eksemplar pun edisi yang saya incar, termasuk versi digitalnya.
Majalah Islam ada yang dibredel (dibekukan) pemerintah dan ada yang berhenti terbit selamanya. Yang dibredel pemerintah contohnya majalah Pandji Masjarakat yang didirikan Buya Hamka. Majalah ini dibekukan rezim Orde Lama usai menerbitkan tulisan Mohammad Hatta yang berjudul “Demokrasi Kita” (1960).
Adapun majalah yang berhenti terbit adalah Media Dakwah terbitan Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Majalah Sabili. Majalah Sabili ini pernah berhenti terbit pada 1993. Lalu terbit lagi pasca runtuhnya Orde Baru. Awak majalah Sabili sempat mengalami “friksi.” Sebagian awak medianya hengkang dan menerbitkan majalah Al Mujtama. Dua majalah ini punya pembaca setia dari kalangan aktivis dakwah kampus.
Terakhir yang perlu disinggung di sini adalah majalah milik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI pernah memiliki majalah al-Wa’ie. Majalah yang dijual dengan harga tak sampai 8 ribu rupiah ini harus berganti rupa seiring dengan pembekuan legalitas HTI oleh Jokowi-JK. Kini elite eks-HTI menerbitkan ulang dengan nama Majalah Tsaqafia.
Akhir kata, sebaiknya elite ormas Islam perlu serius lagi membereskan tata kelola media Islam. Tata kelola amat berpengaruh dalam pasang surut suatu majalah. Tempatkan orang-orang yang paham dunia media. Beri mereka pelatihan berkala dan honorarium yang layak. Jangan malu belajar tata kelola kepada Tempo dan Gatra. Wallahu a’lam.*
*Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net