Suaramuslim.net – Pagi menyapa. Lima sekawan Sabar (Rizqullah Daffa), Sugeng, Wahyu, Slamet, dan Rahayu seperti biasa akan berangkat ke sekolah. Jarak rumah mereka dengan sekolah memang cukup jauh. Melewat sungai dan persawahan terasering. Ya, Desa Selopamioro memang lokasinya cukup “ndeso”. Desa Selopamioro terletak di lereng pegunungan berjarak 40 KM sebelah Selatan Yogyakarta.
Desa yang masih asri, jauh dari kebisingan dan hiruk pikuk suasana kota. Penduduk desa ini masih menggunakan tungku api dengan menggunakan kayu bakar untuk memasak, sungai dan sendang sebagai sumber utama air yang mereka gunakan untuk kehidupan sehari-hari.
Lima sekawan yang tinggal dalam kesederhanaan dan keprihatinan memiliki semangat tinggi untuk menimba ilmu walaupun jalan yang mereka tempuh tidaklah mudah. Saat mentari tiba mereka bergegas berangkat sekolah tanpa menggunakan alas kaki, menyeberangi sungai dan berjalan beberapa kilometer, dan ketika senja datang mereka pergi mengaji di pondok pesantren yang dipimpin oleh Kiai Landung (Kiai Haji D. Zawawi Imron – Penyair Nasional) dan Gus Pras (Rendy Bragi) dengan penerangan obor.
Pondok pesantren yang digambarkan di film ini memiliki kelebihan dibanding pondok pesantren yang lain. Di sini diajarkan humanisme, budi pekerti, dan pendidikan karakter. Di sini pesantren mengajarkan banyak pelajaran terhadap bangsa Indonesia. Terutama pendidikan karakter.
Di tengah kian tercerabutnya karakter para generasi muda, maka lewat solidaritas lima anak sebagai pemeran utama film ini, maka persoalan bangsa dapat diurai. Kehadiran film ini juga akan menjadi kontrol. Yakni bahwa pesantren akan bisa menerima siapa saja dengan latar belakang beragam.
“Saya sampaikan bahwa hidup yang berkarakter, hidup yang bahagia itu tidak hanya diucapkan. Baru kita merasa bahagia kalau apa yang kita ucapkan, kita lakukan dalam kehidupan, ini yang dimaksud adalah karakter. Nikmat hati yang bersih. Dubur ayam yang mengeluarkan telur lebih mulia dari mulut intelektual yang hanya menjanjikan.”
“Akhlak pada zaman apapun tetap diperlukan. Jadi kemudian jangan karena kita memasuki jaman milenial rasa hormat kepada orang tua pada guru menjadi kurang. Pada zaman apapun hormat kepada orang tua tetap diperlukan.”
“Di program internasional sekarang masih hidup tentang living values education, menghargai orang lain, rendah hati, persaudaraan, menghargai cinta persatuan, tetap diperlukan. Ketika kita anti persatuan berarti kita berkelahi. Jika kita tidak suka kepada damai, dalam bahasa damai itu menghargai orang lain menjadi penting. Jadi sebenarnya nilai menghormati orang lain sangat perlu.” Pesan D Zawawi Imron yang ditemui saat pemutaran film Penjuru 5 Santri di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, (20/12).
Yang perlu digaris bawahi, pesan terakhir yang sangat menohok Kyai Landung (D Zawawi Imron) di film Penjuru 5 Santri adalah gunakan tanganmu untuk merangkul, jangan gunakan tanganmu untuk memukul.