Suaramuslim.net – Protes kekejaman Cina atas muslim Uighur menyingkap sisi lain yang cukup mengagetkan dari K-popers. Para penggemar musik pop Korea di berbagai belahan dunia, menjadi motor penggerak perlawanan atas Cina di dunia maya.
Mesin pemantau percakapan Drone Emprit menangkap fenomena menarik itu. Tagar China is Terrorist (#China_is_Terrorist) bertahan menjadi trending topic dunia selama tiga hari (21-23 Desember) berkat militansi K-popers. Tidak main-main. Tagar tersebut berhasil mengundang lebih dari 1 juta percakapan.
Tagar China is Terrorist (#China_is_Terrorist) pertama kali muncul dari netizen di Turki. Tagar itu mulai menyeruak menjadi trending topic dunia ketika K-popers turun ke gelanggang.
Kehadiran mereka terlihat dari akun-akun yang menggunakan avatar para bintang K-Pop. Kebanyakan menggunakan bahasa Inggris dan kemudian menyebar ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Spanyol, Portugis, dan Indonesia.
Selama periode 21-23 Desember 2019, avatar K-Pop misal @ btss117 dan @min_miso_yoongi, mendominasi influencer teratas dari tagar #China_is_Terrorist.
Baru setelah itu kluster K-popers membesar, akun-akun dari Indonesia mulai ikut nimbrung. @R4jaPurwa dan @mas_piyuuu menjadi influencer teratas. Akun @R4jaPurwa bahkan masuk dalam deretan lima besar dunia.
Menariknya akun-akun Indonesia yang bersuara keras terhadap Cina berada dalam kluster oposisi. Sejauh ini sikap pemerintah Indonesia dinilai sangat lemah terhadap Cina.
Mengkhawatirkan Cina
Munculnya jaringan K-popers dalam isu politik dan hak asasi manusia ini cukup mengagetkan. Mereka biasanya adalah netizen yang asyik dengan dunianya sendiri.
Sebuah dunia khusus yang hanya mereka pahami sendiri. Budaya pop Korea yang disebut sebagai Hallyu atau Korean Wave saat ini tengah menjadi gelombang besar yang melanda industri modern dunia.
Mereka adalah penggemar budaya Korea Selatan (fandom) berupa musik, film, drama, makanan, fashion, dan juga trend-nya. Epicentrumnya adalah musik pop.
Jangan dibayangkan mereka adalah kelompok anak-anak baru gede (ABG). Banyak di antaranya adalah wanita dan pria yang sudah mulai beranjak dewasa.
Mereka sangat fanatik. Mengoleksi semua album, foto-foto para idolanya. Mengumpulkan semua pernak-perniknya. Mulai dari bando, kaos kaki, kaca mata, masker, sampai sandal.
K-poper ini juga sangat obsesif. Meniru gaya berpakaian, potongan rambut, dan make upnya. Dalam percakapan mereka sering menyelipkan kata-kata Korea.
Konser sejumlah bintang K-Pop di Indonesia dipastikan dibanjiri oleh histeria penggemarnya. Mereka memburu setiap konser tidak hanya di Indonesia, tapi juga di beberapa negara tetangga.
K-poper alias fandom ini sudah menjadi sebuah komunitas yang terorganisasi. Antara penggemar grup K-Pop satu dengan lainnya bersaing ketat memenangkan jagoannya. Ada yang tugasnya menjaga dan memainkan agar lagu grup kesayangannya selalu bertengger di tangga teratas Youtube.
Jangan coba-coba menyinggung, apalagi menjelek-jelekkan sebuah grup K-Pop. Dipastikan para penggemarnya tidak akan tinggal diam. Kalau sudah begini dipastikan akan terjadi twitwar (perang twit) yang seru. Tak ada yang mau mengalah. Mereka benar-benar baper.
Bagi generasi yang lebih tua, agak sulit memahami budaya pop ini. Tapi sebagai bayangan kira-kira sama dengan para penggemar music rock pada era 70-80an. Gemar mengoleksi kaset, memajang poster dan mengikuti gaya rambut dan pakaian bintang idolanya. Tapi yang ini lebih gila.
Nah ketika tiba-tiba para penggemar K-Pop ini mulai lebih peduli dengan isu politik dan kemanusiaan, wajar bila pemerintah Cina mulai waspada.
Sudah sejak lama pemerintah Cina mewaspadai budaya pop Korea yang menyebar melalui serial drama televisi dan musik. Penggemarnya sangat besar di Cina.
Gaya boy band Korea yang berdandan ala perempuan, akrab dengan make up, memakai anting, mencat rambut dan memakai pakaian warna-warni, membuat prihatin.
Pemerintah Cina menganggap ini sebagai sebuah ancaman dan menyebutnya sebagai budaya sakit. K-Pop Idol ini mereka sebut sebagai sissy pant. Celana banci! Tidak macho dan jantan.
Sejak tahun 2016 Cina melarang apapun yang berbau Korea. Travel agent berhenti menjual paket perjalanan ke Korea. Acara drama Korea menghilang dari layar televisi. Pemberitaan para bintang pop Korea bahkan menghiang dari media-media Cina.
Larangan itu sangat memukul Korea. Bagaimana pun Cina adalah pasar besar.
Sejak tahun 2017 larangan itu dicabut. Akhir tahun 2018 para penggemar K-Pop di Cina sudah bisa kembali menyaksikan konser para idolanya.
Peran para K-Popers menggaungkan tagar China is Terrorist (#China_is_Terrorist) jelas sangat mengagetkan dan membuat pemerintah Cina waspada. Mereka sangat sensitif terhadap isu muslim Uighur.
Musik sebagai alat protes bukanlah hal yang asing dalam berbagai pergerakan dunia. Namun ketika K-popers yang kulturnya cenderung feminin tiba-tiba secara garang menyuarakan kezaliman Cina atas muslim Uighur, tentu ini sangat istimewa.
Benar seperti yang mereka katakan. “Anda tidak perlu menjadi muslim untuk ikut merasakan penderitaan orang Uighur.”
Penderitaan etnis Uighur bukan lah soal agama. Ini masalah hak asasi manusia. End
Hersubeno Arief
Opini yang terkandung di dalam artikel ini adalah milik penulis pribadi, dan tidak merefleksikan kebijakan editorial Suaramuslim.net