Suaramuslim.net – Pesantren merupakan benteng yang kokoh dari pengaruh kebudayaan Barat. Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari pun lantas mengambil sikap dan menentukan cara bagaimana harus berjuang. Untuk mengadakan perlawanan secara fisik sudah pasti tidak memungkinkan. Melalui kegiatan organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU), beliau menggelorakan semangat nasionalisme dan cinta tanah air untuk mempertahankan NKRI.
Hal tersebut membuat penjajah Belanda cemas dan khawatir akan semangat juang Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari yang dipandang kompeni berpotensi membahayakan.
Pada tahun 1937 utusan Belanda menemui Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari untuk memberikan bintang kehormatan dari emas dan perak. Dengan tegas Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari menolak pemberian utusan Belanda tersebut. Sikap tegas beliau ini tak lain untuk mempertahankan perjuangannya akan kedaulatan pesantren dan Indonesia.
Berlanjut pada tahun 1940, Belanda kembali melancarkan penjajahan sistem ketatanegaraan dengan penetapan “Ordonasi milisi Bumi-Putera.” Hal ini menyulut emosi nasionalisme kalangan organisasi Islam seperti NU, melalui musyawarah di Pesantren Tebuireng, Hadratussyaikh bersama KH. A. Wahid Hasyim, dan kiai NU lainnya sepakat menolak Ordonasi tersebut dan membawa hasil keputusan tersebut ke pleno Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) untuk menolak adanya keputusan tersebut.
Bersama Gabungan Partai Politik Indonesia (GAPI), MIAI mendesak tuntutan “Indonesia Berparlemen.” Belanda akhirnya menerima tapi menolak pembentukan parlemen yang wajar menurut MIAI dan GAPI. Untungnya maksud Belanda akan pembentukan parlemen versi konsep Belanda urung akibat jatuhnya Pemerintah Hindia Belanda dan menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 8 Maret 1942.
Kedatangan Jepang setelah jatuhnya pemerintah Hindia Belanda awalnya disambut gembira hingga disambut lagu Indonesia Raya di seluruh penjuru tanah air. Namun pelarangan organisasi pergerakan rakyat Indonesia serta pelarangan pengibaran bendera Merah Putih melalui UU No. 3 dan 4 tanggal 20 Mei 1942 membuat rakyat Indonesia murka.
Ditambah lagi rakyat Indonesia diwajibkan melakukan penghormatan Seikerei dengan membungkukkan badan kepada matahari sebagai simbol kekaisaran Jepang. Hal ini diperparah dengan kewajiban untuk mengibarkan bendera Nippon, menyanyikan lagu Kimigayo serta penerapan waktu berdasarkan Tokyo dan penanggalan Sumera Jepang.
Ulama pesantren akhirnya menggugat budaya Seikerei, dan memfatwakan haram. Karena membungkukkan badan hanya untuk beribadah kepada Allah, tidak untuk kaisar Jepang. Dunia pesantren pun dibuat ramai. Hasdratussyaikh Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin besar NU ditangkap oleh Jepang yang keji.
Berkat bantuan anaknya, KH. A Wahid Hasyim menghubungi salah satu anggota petinggi kantor urusan agama (Shumubu) muslim keturunan Jepang Abdul Hamid Ono untuk membebaskan Hadratussyaikh. Akhirnya ia bisa menghirup udara bebas dan meneruskan perjuangan kemerdekaan NKRI. Beliau sadar perlu kader-kader Islam militan untuk mempertahankan NKRI, baik dalam menghadapi Jepang maupun penjajah lain yang akan menjajah NKRI.
Akhirnya putera Hadratussyaikh KH. Abdul Kholiq Hasyim masuk dalam PETA; tentara Pembela Tanah Air. Jabatan Daidanco pun disandangnya. Bendera PETA berwarna hijau dengan bola merah yang bersinar merah di tengahnya dan di tengah-tengah bolah merah itu terlukis bulan bintang yang berwarna putih.
Panji-panji (daidanki) PETA ini rupanya suatu perlambang bahwa perang Asia Timur Raya oleh Jepang disamakan dengan perang suci orang-orang Islam Indonesia melawan orang-orang Kristen, yang menjelmakan dirinya sebagai Imperialis Barat. Anggapan yang demikian itu ternyata dimanfaatkan oleh golongan Islam untuk membentuk tentara Hisbullah (tentara Allah) yang bertugas untuk mempertahankan tanah air Indonesia.
Hingga akhirnya mampu menjadi penggerak muslim militan untuk melawan balik penjajah Jepang hingga berhasil mengusir Jepang didukung dengan kekalahan Jepang di Perang Dunia II. Alhasil, pada 17 Agustus 1945 diproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada agresi Belanda, NICA dan Inggris berusaha kembali merebut Indonesia semenjak kemerdekaan RI. Hal ini kemudian mengobarkan perang jihad kepada imperialisme barat dengan munculnya Resolusi Jihad dari Rais Besar NU Hadratussyaikh hingga pecahnya perang melawan NICA-Inggris di Surabaya yang dikenal dengan perang 10 Nopember 1947.
Pesantren Tebuireng dengan Nahdlatul Ulama
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari selaku pengasuh Tebuireng tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kelahiran dan perjuangan Nahdlatul Ulama. Sebab wakaf ilmu dan jasanya terhadap organisasi ini tidaklah sedikit. Beliau adalah seorang pendiri jamiyah ini.
Apabila Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai tokoh pembentuk isi Nahdlatul Ulama, maka KH. Abdul Wahab Hasbullah seorang yang mewujudkan Nahdlatul Ulama. Keduanya adalah Bapak dan Pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Nahdlatul Ulama (NU) didirikan 31 Januari 1926 dan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari di angat sebagai Rais Akbarnya. NU menjadi wadah bagi para ulama untuk memperjuangkan dunia pondok pesantren yang semula hidup sendiri-sendiri sekarang telah menggalang persatuan dalam wadah organisasi (jam’iyah).
Dunia pesantren tidak hanya mementingkan denyut aspirasi orang-orang dalam lingkungan dindingnya, tetapi telah turut melangkah keluar menyertai saudara-saudara yang senasib sepenanggungan. Posisi pesantren Tebuireng menjadi tempat sentralnya para ulama untuk berkumpul.
Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari Pengasuh Pesantren Tebuireng yang pada waktu itu menjabat Rais Akbar, merupakan ulama besar yang mempunyai pengaruh terhadap pondok-pondok pesantren di Jawa. Sehingga NU dengan cepat dan mudah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat pondok pesantren.
Ia dikenal bersahabat, mudah menyesuaikan dengan lingkungan, peduli baik kepada orang yang lebih tua maupun muda. Terhadap ulama seangkatannya selalu menganggapnya sebagai gurunya, sedangkan terhadap kaum muda selalu memperhatikan pendapatnya. Beliau berusaha meletakkan dasar kepemimpinan atas dasar landasan sabda Nabi Muhammad SAW.
“Tidak termasuk golongan kami, siapa-siapa yang tidak berkasih sayang kepada yang lebih muda dan tidak menghormati yang tua.”
Pesantren Tebuireng dalam Bidang Pendidikan
Hadratussyaikh mendirikan Pesantren Tebuireng pada 1899 M dengan sistem pembelajaran sorogan dan bandongan kitab. Pada tahun 1916, ia merintis pendidikan madrasah secara klasikal dengan dikepalai oleh penulis kitab Amtsilatut Tashrifiyah. Pendidikan dimulai dengan tujuh jenjang kelas dimulai dengan jenjang persiapan di sifir awwal dan sifir tsani, yakni sekolah persiapan menuju jenjang lima tahun berikutnya. Pada tahun 1919, kurikulum Madrasah Tebuireng ditambah dengan ilmu umum seperti bahasa Indonesia, Matematika, dan ilmu bumi (geografi), dan bahasa Belanda.
Sejak kedatangan KH. A Wahid Hasyim dari Mekkah pada 1934, Pesantren Tebuireng mendirikan Madrasah Nizhamiyah dengan persentase ilmu umum yang lebih besar daripada ilmu agama. Selain mengajarkan bahasa Arab dan Belanda, madrasah ini mengajarkan bahasa Inggris dan keterampilan mengetik. Meskipun begitu, konsep madrasah ini tidak mengubah sistem pengajian kitab dan musyawarah khas yang diajarkan oleh Hadratussyaikh.
Untuk melengkapi khazanah keilmuan santri, pada tahun 1936, KH. A. Wahid Hasyim mendirikan Ikatan Pelajar Islam yang kemudian diikuti dengan pendirian taman bacaan (perpustakaan) yang menyediakan lebih dari seribu judul buku.
Langkah ini merupakan terobosan besar yang saat itu belum pernah dilakukan pesantren manapun di Indonesia. Lambat laun sebagian dari para ulama dan masyarakat yang semula mengkritik ide dan gagasannya dapat memahami dan menerimanya. Sebagai buktinya, jumlah santri yang belajar di Pesantren Tebuireng dan Madrasah Nizhamiyah meningkat secara drastis.
Pada tahun 1930 an jumlah santri meningkat menjadi 2000 an, meningkat sepuluh kali lipat dari jumlah santri yang belajar di Tebuireng selama sepuluh tahun terakhir. Bahkan, perubahan tersebut juga membawa dampak yang positif bagi para kader Nahdlatul Ulama. Pesantren Tebuireng pun menjadi pusat pengkaderan para kader Nahdlatul Ulama. Bahkan banyak sistem pendidikan yang diterapkan di Pesantren Tebuireng diadopsi di sejumlah pesantren.
Kepemimpinan tampuk pesantren Tebuireng berubah semenjak wafatnya Hadratussyaikh, KH. A. Wahid Hasyim menjadi pengganti setelah ayahandanya wafat. Urutan kepemimpinan pesantren adalah KH. A. Wahid Hasyim, KH Abdul Karim Hasyim, KH Baidhowi, dan KH A. Kholiq Hasyim dengan bantuan KH. Makshum Ali, KH Muhammad Ilyas, KH Idris Kamali, KH Yusuf Masyhar, dan KH Sobari.
Pada periode ini, dilakukan formalisasi madrasah sesuai sistem persekolahan nasional, yakni terbentuknya Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, dan Muallimin. Pada masa KH. Kholiq, kegiatan musyawarah santri diberdayakan mirip masa Hadratussyaikh.
- Yusuf Hasyim mulai melanjutkan estafet kepemimpinan pada 1965 dengan dibantu oleh KH Hadzik Mahbub, KH Yusuf Masyhar, KH Adlan Aly, KH Mahfudz Anwar, KH Yusuf Masyhar, KH Syansuri Badawi.
Pembaharuan kembali dibuktikan dengan didirikannya Universitas Hasyim Asy’ari (1972), Madrasatul Hufadz (1971), Sekolah Persiapan (1972), SMP dan SMA pada 1964.
KH Yusuf Hasyim juga menginisiasi pembentukan Yayasan Hasyim Asy’ari untuk mengelola unit pendidikan dan administrasi, serta mengelola tanah wakaf peninggalan Hadratussyaikh.
Untuk memberikan pelayanan prima kepada santri Tebuireng, Unit Koperasi Jasa Boga dibentuk untuk mengelola konsumsi harian santri pada 1991. Pesantren Tebuireng masa kepemimpinan KH Yusuf Hasyim pada 2003 membuka pondok pesantren Tebuireng putri, sebagai wadah santri putri yang ingin mondok di Pesantren Tebuireng.
Menjelang akhir periode kepemimpinan beliau, KH Yusuf Hasyim menggagas Ma’had Aly sebagai institut keislaman khusus mendalami ilmu-ilmu keislaman klasik serta kajian mendalam keislaman kontemporer dengan beasiswa.
Dalam perjalanan sejarahnya, hingga kini Pesantren Tebuireng telah mengalami 7 kali periode kepemimpinan.
Sumber: Profil Pesantren Tebuireng