Sejarah Singkat Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari

Sejarah Singkat Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari

KH Hasyim Asy'ari

Suaramuslim.net – Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dilahirkan Selasa Kliwon, 24 Dzul Qa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari 1871 M, di Pesantren Gedang, desa Tambakrejo, sekitar 2 km ke arah utara kota Jombang. Ia merupakan putra ketiga dari 11 bersaudara dari pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang.

Dari jalur ayah, nasabnya bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir. Sedangkan dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang berputra Kerebet atau Jaka Tingkir. Jaka Tingkir adalah Raja Pajang pertama (tahun 1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya.

Pada tahun 1293 H/1876 M, Hadratusyaikh KH. M. Hasyim Asya’ri berusia 6 tahun, diajak orang tuanya pindah ke Desa Keras, sekitar 8 km arah selatan kota Jombang. Di desa Keras, ayahnya membangun rumah, masjid, dan pesantren.

Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari semenjak kecil dididik langsung oleh orang tuanya mengenai dasar-dasar ilmu agama. Ia hidup menyatu bersama para santri. Hidup sederhana dan penuh kebersamaan yang telah membentuk wataknya di kemudian hari. Dalam usia 13 tahun, sudah bisa membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih senior. Di samping cerdas, Hadratussyaikh juga dikenal rajin bekerja. Sifat kemandirian yang ditanamkan sejak dini mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain.

Masa “Nyantri”

Pada usia 15 tahun KH. M. Hasyim Asy’ari nyantri di sejumlah Pesantren di Jawa Timur. Pesantren Wonorejo Jombang menjadi awal yang persinggahannya. Disusul pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Tenggilis Surabaya.

Merasa belum puas akan ilmu yang diperolehnya, lantas melanjutkan nyantri ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura asuhan Kiai Kholil bin Abdul Latif. Selama lima tahun menuntut ilmu di Bangkalan, kemudian pada tahun 1307H/1891 M kembali ke tanah Jawa dan belajar di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub. Lima tahun menjadi santri Kiai Ya’qub kemudian dinikahkan dengan puterinya, Nafisah. Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892M/1308H.

Setelah menikah, ia dan istrinya sekaligus mertuanya menunaikan ibadah haji. Semasa di Makkah, juga mempergunakan kesempatan memperdalam ilmu pengetahuan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu hadis. Tujuh bulan telah berlalu, Nyai Nafisah melahirkan seorang putera yang diberi nama Abdullah. Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari bersama isteri dan mertuanya sangat bahagia dengan kelahiran bayi mungil tersebut.

Di tengah kegembiraan karena memiliki buah hati, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia di tanah suci Makkah. Empat puluh hari kemudian, puteranya, Abdullah, menyusul sang ibu. Kesedihan mendalam nyaris tak tertahankan. Namun ia selalu ingat kepada Allah dengan melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya. Beberapa bulan kemudian, balik ke Indonesia untuk mengantar mertuanya pulang.

Hijrah kembali ke tanah suci

Pada tahun 1309H/1893M, Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dengan ditemani adik kandungnya, Anis, berangkat ke Makkah. Allah SWT kembali menguji kesabarannya. Karena tak lama setelah tiba di Makkah, Anis dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Ujian hidup untuk kedua kali yang paling berat dalam hidupnya di tanah suci. Tak ingin hanyut dan terlarut dalam kesedihan yang berkepanjangan Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari kemudian mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar dan mendekatkan diri kepada Allah.

Di tengah-tengah kesibukannya menuntu ilmu, ia selalu menyempatkan diri berziarah ke tempat-tempat mustajab, seperti Padang Arafah, Gua Hira, Maqam Ibrahim, juga termasuk ke Makam Rasulullah SAW. Setiap Sabtu pagi ia selalu berangkat menuju Gua Hira di Jabal Nur, kurang lebih 10 KM di luar kota Makkah, untuk mempelajari dan menghafalkan hadis-hadis Nabi. Dengan berbekal makanan yang cukup untuk enam hari kedepan juga membawa Al-Quran dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya. Barulah pada hari Jumat bergegas turun menuju Kota Makkah guna menunaikan shalat Jumat di sana.

Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dan memetik berkah. Di antara guru-gurunya selama di Makkah yakni: Syaikh Syuaib ibn Abdurrahman, Mahfudz at-Turmusi, Khatib Al-Minangkabawi, Ahmad Amin Al-Athar, Ibrahim Arab, Said Al-Yamani, Rahmatullah, dan Bafaddhal. Sejumlah Sayyid juga menjadi gurunya, antara lain: Sayyid Abbas al-Maliki, Sulthan Hasyim al-Daghistani, Abdullah al-Zawawi, Ahmad bin Hasan al-Atthas, Alwi al-Segaf, Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah.

Setidaknya ada tiga orang yang sangat mempengaruhi wawasan keilmuan Hadratussyaikh, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Husain al-Habsyi, dan Syaikh Mahfuzh al-Turmusi. Setelah ilmunya dirasa cukup, ia kemudian dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syaikh Nawawi al-Bantani, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dll. Di sana ia mempunyai banyak murid dari berbagai negara.

Sumber: Profil Pesantren Tebuireng, Seri Buku PSB, edisi kedua 2017.

Like this article?

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on WhatsApp
Share on Telegram

Leave a comment